Rinjani, sebuah gunung yang berada di pulau Lombok, yang luasnya mencakup 3 kabupaten sekaligus yakni Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok tengah dan Kabupaten Lombok Timur. Rinjani sendiri merupakan salah satu gunung yang menjadi impian untuk didaki oleh hampir seluruh para pecinta alam di Negeri ini, tidak terkecuali saya sendiri tentunya. Bagaimana tidak hampir seluruh orang yang pernah berkunjung kesana pun berkata, bahwa Rinjani merupakan salah satu gunung terindah yang ada di Indonesia bahkan mungkin dunia, hal itu dipertegas dengan pernyataan mereka yang ingin kembali lagi kesana. Maka jangan heran Rinjani selalu dipenuhi para pendaki setiap tahun nya, baik itu para pendaki lokal maupun mancanegara. Menurut catatan pengelola Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), kawasan ini rata-rata dikunjungi 46.000 orang per tahun nya. Namun sayangnya hal tersebut pun tidak diimbangi dengan kebersihan kawasan TNGR ini sendiri, karena Gunung Rinjani tidak berbeda jauh dengan taman nasional lainnya yang ada di Negeri ini, tidak pernah lepas dari masalah sampah sampah dan sampah.
Dikalangan para pendaki gunung Rinjani mempunyai tittle sebagai gunung tercantik di Negeri ini, berdampingan dengan gunung Semeru yang yang mempunyai gunung tampan. Jika diibaratkan manusia Semeru merupakan seorang Raja yang berpenampilan gagah, perkasa namun terkesan sedikit angkuh. Sedangkan Rinjani diibaratkan seorang Ratu yang berpenampilan cantik, ayu dan sangat anggun. Maka jangan heran nama puncak keduanya pun nyaris sama, yakni Mahameru dan Mahabiru. Sebenarnya kecantikan gunung Rinjani sendiri masih berhubungan erat dengan cerita sejarah suku Sasak yang telah turun temurun. Puncak gunung Rinjani bersumber dari cerita legenda Dewi Anjani. Dari nama wanita itulah Rinjani ada. Bahkan konon ia dianggap sebagai penghuni kawasan puncak Rinjani. Ia digambarkan sangat cantik yang terkadang mau menampakan drinya pada orang-orang tertentu disekitaran plawangan dan puncak. Namun sampai saat ini belum ada satu pun litelatur yang membandingkan kecantikan Dewi Anjani dan Nyi Roro Kidul, tapi nampaknya saya pribadi sangat tidak tertarik untuk membandingkan kecantikan keduanya secara langsung (sieun oge mereun bray...), karena bagi saya cukup melihat kecantikan Agnes Monica saja, karena bagaimana pun juga menurut saya itu yang paling mentok untuk ukuran kecantikan wanita di Negeri ini. Sekali Agnes Monica! Tetap Agnes Monica! Hidup Agnes Monica!
Senin, 5 September 2011
Kamis, 1 September 2011
Sebenarnya hari ini merupakan
hari kedua Idul Fitri, namun karena perubahan Idul Fitri yang mundur satu hari
sedangkan jadwal keberangkatan yang tidak bisa berubah. Maka mau tidak mau saya
pun harus mengorbankan ber lebaran berkumpul bersama keluarga besar di hari nan
Fitri. Pukul 06.00 WIB saya sudah berangkat dari bilangan daerah Cilangkap
Kabupaten Bogor diantar salah seorang saudara menggunakan sepedah motor menuju
tempat meeting point keberangkatan di salah satu sudut Stadion kebangaan
masyarakat Indonesia, Gelora Bung Karno. Kurang lebih sekitar 90 menit motor
yang saya tumpangi membelah jalanan ibukota yang nyaris sangat lengang, karena
ditinggal para penghuni nya yang melakukan ritual tahunan mudik menuju kampong
halaman nya. Kondisi ini jauh berbeda 180 derajat dengan kondisi jalanan
ibukota di pagi hari jika dalam keadaan normal, macet merupakan santapan wajib
para penghuni ibukota setiap harinya. Oh ya hamper saja lupa, sebenarnya
petualangan saya kali ini menuju Puncak Rinjani menggunakan sebuah jasa tour
and travel, maka jangan pernah menanyakan rincian ongkos yang saya keluarkan
ya. Karena kali ini saya layaknya anak sekolahan yang sedang menjalani sebuah
perjalanan study tour, tapi bedanya bukan perjalanan menuju Museum atau Dunia
Fantasi, tapi sebuah perjalanan menuju gunung tertinggi di Pulau Nusa Tenggara,
Gunung Rinjani 3726 MDPL. Setelah menyelesaikan proses registrasi ulang pada
pihak panitia, pembagia tshirt dan sedikit photo session, pukul 08.15 WIB bus
yang akan membelah 3 pulau secara langsung ini pun lambat laun mulai
meninggalkan kawasan Senayan.
Jam-jam pertama dalam perjalanan
saya isi dengan berbincang-bincang dengan beberapa rekan saja, karena memang
dalam satu bus ini yang saya kenal sebelum melakukan perjalanan hanya sekitar 6
orang saja, itu pun memang kami semua sudah dalam satu perkumpulan millist di
dunia maia yakni Komunitas Pecinta Alam Warna Warni. Namun secara perlahan
kebekuan diantara yang lainnya pun mulai mencair, sehingga lambat laun mulai berkenalan
dan sedikit berbincang-bincang dengan peserta yang lainnya. Sebenarnya ada yang
sedikit unik dan membuat lucu para penghuni bus dalam perjalanan kali ini,
karena dalam satu rombongan ini ada 3 orang yang mempunyai nama berakhiran
Udin, Solahudin, Saprudin dan Djalaludin. Bahkan rekan saya Ray selalu tertawa
terbahak-bahak setiap salah seorang panitia membacakan absen. Dan entah
disengaja atau tidak oleh para panitia, trio Udin ini disimpan secara berurutan
dalam absensi dan duduk nya pun bersama-sama di bus bagian tengah berkursi 3.
Ternyata Udin sedunia tidak hanya berlaku didalam sebuah lagu konyol saja, tapi
benar-benar terjadi di kehidupan nyata. Sebuah kebetulan yang sangat unik namun
lucu.
“Ayo……….. diabsen dulu”
“Trio Udin………………………”
“Adaaaaaaaaaaaaaaaaaa” LOL
Pukul 13.30 WIB bus pariwisata
tanpa label yang kami tumpangi akhirnya tiba juga di ujung Provinsi Jawa Barat,
Indramayu. Sekedar melepas lelah sang supir memilih untuk beristirahat disalah
satu rumah makan di Jalur Pantura. Kesempatan itu pun tidak disia-siakan untuk
sekedar merokok, buang hajat dan shalat. Selepas Indramayu dan memasuki
Provinsi Jawa Tengah ternyata keadaan jalanan antar kota ini tidak bersahabat
sama sekali. Ternyata efek mudik belum memudar sama sekali, macet pun menjadi
santapan yang mau tidak mau harus diterima secara ikhlas. Kejenuhan pun mulai
mendera para penghuni bus pariwisata ini, untung saja pada saat itu saat kernet
bus melakukan sebuah maneuver jempolan, menyalakan TV dan memasang film lawas
dengan sang pemeran utama Almarhum Benyamin. Film Lokomotiv Benyamin dan Tarsan
Kota pun seolah menjadi sebuah pengantar tidur yang sangat ampuh bagi para
penghuni bus yang mulai dihinggapi rasa suntuk dan bosan.
Jumat, 2 September 2011
Pukul 03.15 WIB ternyata bus baru
sampai di kota pelajar Yogyakarta, pihak panitia pun memberikan sebuah kotak
makanan berisi nasi, ayam, gudeg dan es the manis. Yang itu entah merupakan
makan malam, pagi atau sahur. Tapi perut yang pada saat itu mulai meradang pun
tanpa basa basi lagi langsung saja tancap gas (ayam milik saya pun menjadi
rezeki nya Djal hehehe). Setelah istirahat dirasa cukup yang ditutp dengan
melaksanakan shalat subuh di salah satu surau di bilangan jalan Malioboro,
perjalanan pun dilanjutkan kembali. Rasa kantuk yang mendera pun lambat laun
mulai menyerang hamper seluruh penghuni bus tidak terkecuali saya sendiri
tentunya, maka sisa perjalanan berikutnya pun kembali milik alam bawah sadar
mimpi.
07.00 WIB – 23.00 WIB
Solo – Ngawi – Bojonegoro –
Lamongan – Gresik – Surabaya – Sidoarjo – Pasuruan – Probolinggo – Panarukan –
Situbondo – Banyuwangi.
Tidur – Bangun – Makan – Ngerokok
– Shalat – Baca Buku – Tidur lagi – Bangun kembali – Buang hajat – Tidur lagi –
Bangun kembali – Ngegosip – Minum Antimo – Tidur lagi – Bangun kembali – Makan
– Ngerokok – Buang hajat – Tidur lagi –Bangun kembali – BORING L
Sabtu, 3 September 2011
Nah kalau yang ini wajib ditulis
kembali, sekitar pukul 00.00 WIB akhirnya kami semua tiba di pelabuhan Katapang
Banyuwangi, bagi saya pribadi ini merupakan pengalaman pertama dalam hidup saya
keluar dari pulau Jawa dan pertama kali nya pula saya merasakan naik salah satu
alat transportasi kapal Ferry. Terserah mau dibilang kampungan, norak atau
apapun juga, yang jelas perasaan saya sangat bahagia banget-banget. Akhirnya
rekor 26 tahun terkungkung di Pulau Jawa pun terpecahkan juga, Merdeka!
Ternyata pengalaman pertama berlayar dilautan lepas cukup menegangkan juga bagi
manusia yang tidak bisa berenang sama sekali seperti saya. Namun saat itu
dikapal Ferry tersebut ada sebuah pemandangan yang sangat sangat amazing bagi saya, bagaimana tidak dari
tengah lautan tersebut saya bersama rekan-rekan yang lainnya melihat gunung
Merapi yang terletak di pesisir Provinsi Jawa Timur sedang mengeluarkan
semburan-semburan lava yang berasal dari perut nya. Meskipun hanya dari
kejauhan, namun pijaran-pijaran lava tersebut terlihat dengan sangat jelas.
Subhanalllah….. sebuah pemandang terdahsyat yang biasanya hanya bisa dilihat di
youtube saja.
Jam Swiss Army KW China seharga
45rb yang melingkar di pergelangan tangan telah menunjukan pukul 01.30 WIB,
ketika kedua kaki ini pertama kalinya menginjakan di tanah Pulau Dewata Bali.
Rasa senang, bahagia, aneh berkecambuk didalam diri menjadi satu. Memang benar
pengalaman pertama di dalam hidup mau apapun itu jenisnya selalu membuat
bingung namun pasti sangat berkesan dan akan selalu teringat sampai kapanpun.
Ternyata saya pun baru tau jika ingin memasuki Pulau Bali pengamanannya bias
dibilang cukup ketat, kami semua disuruh turun dari dalam bus dan berhadapan
langsung dengan para petugas yang membawa senjata AK 47 layaknya di film Rambo
untuk memeriksa Kartu Tanpa Penduduk. Sebenarnya bagus juga sih system
pemeriksaan seperti ini, agar kejadian Bom Bali I dan II tidak terjadi kembali.
Namun sayangnya pemeriksaan KTP di Pelabuhan Gilimanuk ini menurut saya hanya
terkesan sebuah formalitas saja, bagaimana tidak pada saat pemeriksaan KTP oleh
petugas hanya sekedar diperlihatkan saja, rasanya jika pada saat itu saya
memperlihatkan KTP milik orang lain atau KTP palsu pun rasanya para petugas
tersebut tidak akan pernah menyadari. Ada baiknya jika memang ingin pengamanan
dilakukan secara lebih serius dan tidak terkesan main-main, apa susah nya
melakukannya dengan system komputerisasi, apakah APBD Bali atau APBN Negara
Indonesia tidak sanggup untuk menjalankan sebuah system yang lebih terarah, toh
itu pun demi keamanan dan kenyamanan penduduk Negeri ini sendiri bukan. Siapa
yang untung jika Pulau Bali tetap banyak dikunjungi para wisman local dan
mancanegara, ujung-ujung nya pendapatan daerah itu sendiri bukan? Ya sudahlah
mungkin para aparatur di Negeri ini lebih mengerti mengenai kondisi daerah dari
Negara nya ini. Saya hanya sebagai kaum proletar hanya bias berdoa saja demi
kemajuan sebuah Negara yang sangat saya cintai ini, namun saya benci dengan
semua system nya yang berlaku.
Oh ya hampir saja terlupa sudah
saat nya saya menambah satu jam yang tertera pada jam tangan dan handphone,
karena saat ini saya sudah memasuki waktu bagian Indonesia Tengah (WITA). Itu
berarti sekarang sudah pukul 02.30 WITA, lebih cepat satu jam dengan
saudara-saudara kita yang berada di pulau Jawa. Selepas pemeriksaan KTP di
pelabuhan Gilimanuk, kami semua pun mulai memasuki kembali bus Pariwisata yang
sudah 2 hari kebelakang pantat ini begitu akrab nya dengan jok kursi nya.
Ternyata tidak lama memasuki bus, diri ini langsung tertidur kembali dengan
posisi yang sudah tidak berupa bentuk.
Pukul 06.00 WITA kegaduhan
didalam bus pun kembali membangunkan diri ini dari alam bawah sadar mimpi,
ternyata bus sudah sampai di pelabuhan Padang Bai untuk bersiap-siap kembali
menyebrangi selat Lombok diatas kapal Ferry milik PT.PELNI yang kali ini kapal
nya berukuran lebih besar dari sebelumnya. Karena memang lautan yang akan diarungi
pun memang lebih panjang dan lebih memakan banyak waktu. Berlayar untuk kedua
kalinya ini saya bias bersikap lebih tenang dan mungkin lebih menyenangkan
karena dilakukan pada siang hari tidak seperti sebelumnya ditengah gelap nya
malam, harap dimaklum efek parno nonton film Titanic masih terus menggrogoti
meskipun sudah bertahun-tahun yang lalu nonton tuh film. Ternyata saya baru tau
jika dalam berlayar yang kedua ini sangat memakan waktu yang cukup lama, untung
saja saya tidak mempunyai penyakit mabuk di dalam perjalanan/laut, kalau punya
bias gaswat abis. Rasa jenuh pun mulai melanda kembali, namun salah seorang
teman Debo mengajak untuk sekedar photo
session di geladak kapal untuk sekedar menghilangkan efek kebosanan.
Setelah photo session dirasa cukup
(malah kebanyakan banget), saya pun lebih memilih untuk menjauh dari keramaian
alias menyendiri disalah satu sudut geladak kapal, sambil melanjutkan membaca
novel Manjali dan Cakrabirawa karya Ayu Utami yang memang saya bawa dari rumah,
sambil ditemani segelas kopi hitam, kepulan asap rokok, suara deburan ombak dan
angin semilir tengah lautan yang menerpa wajah. Jujur saja saat-saat tersebut
rasanya sangat sensasional, benar-benar kenikmatan duniawi yang tiada tara nya.
Pukul 10.30 WITA ternyata kapal
sudah siap berlabuh kembali di pelabuhan Lembar Lombok, itu berarti perjalanan
membelah lautan kali ini memakan waktu 4,5 jam. Begitu kapal menemui
peraduannya secara perlahan, para isi kapal pun mulai berhamburan kembali
menuju daratan secara perlahan. Perjalanan via darat dengan bus pariwisata pun
kembali dilanjutkan kembali, sekita pukul 11.30 WITA ternyata bus sudah
memasuki pusat kota Mataram, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Yang telah
berdiri setelah ditetapkan oleh Pemerintahan Negara Indonesia sejak tanggal 17
Desember 1958. Pusat kota Mataram sendiri ternyata tidak begitu jauh berbeda
dengan kota-kota besar yang berada di Pulau Jawa. Setelah sedikit
berputar-putar akhirnya kami semua pun tiba juga ditempat meeting point berikutnya yakni
Gedung Fakultas Hukum Universitas Mataram. Setibanya disalah satu sudut
kampus, ternyata pihak panitia sudah menyiapkan makan siang untuk para peserta,
menu nya pun masih sama nasi kardus berisi ayam featuring sayur mayur dan tempe tahu (ayam jatah saya kali ini menjadi
rezeki nya Ray hehe). Setelah makan siang selesai pihak panitia pun memberikan
waktu untuk beristirahat dan mandi disekitaran kampus. Sayang nya pada saat itu
suasana kampus sedang liburan Idul Fitri, jadi saya tidak bias melihat
aktivitas kampus terutama para mahasiswi nya hehehe (siapa tau panggih jodo,
jodo kan jorok, tapi tapi tapi tapi daek wae lah! Eh dekeut apel na :p ).
Setelah istirahat, nge cas
handphone, mandi dan shalat dirasa cukup perjalanan pun dilanjutkan kembali
menuju tempat meeting point
berikutnya yakni Desa Sembalun, yang merupakan start awal untuk pendakian menuju Gunung Rinjani. Namun ditengah
perjalanan bus pun berhenti disalah satu tempat perbelanjaan modern di kota
Mataram (untuk nama mall nya lupa lagi euy, tapi satu yang pasti di dalm nya
ada supermarket modern Hero). Tim pendakian yang sebelumnya telah dibagi pun
mulai berbelanja kebutuhan logistic
masing-masing kelompok. Saya yang pada saat itu berada di kelompok 3, yang
kesemuanya merupakan anggota Komunitas Pecinta Alam Warna Warni (KPAWW) pun
mulai mengacak-ngacak isi supermarket, bagaimana tidak keberadaan 5 makhluk
berjenis wanita di tubuh tim membuat urusan belanja menjadi semakin banyak
karena hamper semua dibeli. Alhasil 6 kantong kresek berukuran besar pun menjadi
bukti kongkret jarahan kami semua siang itu. Pukul 16.30 WITA perjalanan pun
dilanjutkan kembali, ternyata jarak dari pusat kota Mataram menuju Desa
Sembalun lumayan masih jauh juga ternyata, mau tidak mau saya pun kembali
tertidur di sisa perjalanan. Tidur – bangun – makan – tidur – makan – bangun –
berak – kencing – tidur – tidur – tidur.
Suara kegaduhan kembali
menyadarkan diri dari alam bawah sadar mimpi, ketika melirik jam ditangan
ternyata sudah menunjukan pukul 21.35 WITA dan ketika melihat keluar jendela
bus ternyata sudah sampai di Desa Sembalun, tepat didepan kantor pengelola
Taman Nasional Gunung Rinjani. Secara perlahan seluruh squad pun mulai turun dari dalam bus secara perlahan dan teratur,
setelah membawa keril masing-masing, satu persatu pun mulai memasuki sebuah
kantor yang kondisi nya kurang begitu terawat untuk beristirahat. Namun diluar
dugaan ternyata keadaan di dalam kantor TNGR sudah penuh sesak oleh para
peserta lainnya, maka tidak ada pilihan lain bagi saya dan rekan-rekan untuk
mendirikan tenda di pekarangan kantor. Setelah 2 tenda berdiri dengan kokoh,
kami para punggawa tim Ceria pun mulai memasak makan malam. Mie instant pun
menjadi sebuah pilihan, selain karena alasan kepraktisan energy pun tidak akan
dipergunakan untuk beberapa jam kedepan, karena hanya dipakai untuk tidur
kembali. Setelah acara makan malam dirasa cukup dan sedikit beres-beres, kami
semua pun mulai memasuki kandang nya masing-masing untuk beristirahat dan
terlindungi dari dingin nya Desa Sembalun malam ini.
Minggu, 4 September 2011
Angin semilir khas daerah
pegunungan yang langsung menyerang tulang belulang pun mulai berani memasuki
celah-celah tenda dan resleting sleeping bag yang sudah tidak terkontrol posisi
pemakaian nya. Ketika melihat jam di tangan ternyata telah menunjukan pukul
08.00 WITA dan suara gaduh para pendaki pun lambat laun mulai mengganggu di
sekitaran luaran tenda.
Selepas melakukan packing ulang,
sedikit sarapan dan tidak lupa memanjatkan doa pada sang Khalik, saya beserta
rekan-rekan yang lainnya pun mulai melangkahkan kaki pertama yang dilanjutkan
dengan puluhan ribu langkah berikutnya. Dalam etape awal ini saya lebih memilih
untuk menjadi rombongan terakhir alias sweeper dalm tubuh tim, menemani
beberapa rekan wanita. Namun setelah berjalan kurang lebih sekitar 2 jam
nampaknya posisi saya sebagai sweeper tim nampaknya bias dibilang sangat tidak
berguna sama sekali. Karena posisi para panitia sedari awal perjalanan sudah
berada diurutan paling akhir rombongan. Akhirnya saya pun memutuskan untuk
berjalan dibagian depan tim saja, selain karena alasan diatas, tidak tau
mengapa jika baru memulai perjalanan pasti stamina saya sangat-sangat buruk
bahkan bias dibilang sangat kepayahan. Padahal jalur yang dilalui bias
dikatakan cukup enak, karena kita hanya melewati padang savanna. Namun sangat
disayangkan cuaca kurang begitu bersahabat, kabut seolah enggan pergi, menutup
Mahabiru yang masih tertegun dengan sangat anggun nya bernaung biru muda langit
dan cahaya mentari yang mengintip dari kejauhan, seolah-olah memanggil kami
semua untuk segera tiba disana.
Selain tertutupnya embun,
perjalanan dalam etape awal ini pun kurang mendapatkan sesuatu yang menyegarkan
mata dan hati. Karenahampir setengah padang savanna habis terbakar api, yang
hanya menyisakan pemandangan coklat kehitam-hitaman buah karya si jago merah,
sangat disayangkan L.
Kurang lebih pukul 12.00 WITA kami semua akhirnya tiba juga di pos 1, sedari
awal pihak panitia memang sudah mengagendakan jika semua rombongan akan
beristirahat dan makan siang di pos ini. Acara masak-masakan pun akhirnya
terlaksanan di pos ini, menu siang itu hanya 2 porsi spaghetti saus tomat yang
dihabiskan 13 orang sekaligus, padahal porsi normal nya hanya diperuntukan
untuk 8 orang saja, namun karena rasa kebersamaan sesama anggota tim, makan
sedikit pun tidak menjadi sebuah masalah yang besar. Selepas makan siang dirasa
cukup dan diakhiri dengan kenikmatan sebatang rokok yang tiada duanya,
sayup-sayup angin lembab dan dingin pun seolah-olah ditiupkan pada wajah dan
sekujur tubuh kami semua. Kelelahan pun hilang dalam sekejap dan tergantikan
rasa kantuk yang mulai menyergap, standart orang Indonesia, lapar galak kenyang
bego hehehe.
Pukul 01.15 WITA, beres-beres dan berangkat. Trek yang dilalui
masih sama seperti sebelumnya yakni jalur menanjak namun cukup landai
ditengah-tengah padang savanna. Kondisi cuaca pun masih belum berubah, meskipun
posisi matahari sedang tepat berada diatas kepala, namun sinarnya tertutup
kabut yang masih enggan untuk pergi. Bahkan berkali-kali terdengar angin yang
bergemuruh kencang dari kejauhan sana. Keringat yang awalnya membanjiri sekujur
tubuh pun dalam hitungan beberapa menit saja langsung kering kembali seolah tak
berbekas dalam sebuah bentuk cairan hanya menyisakan zat udara nya saja yang
cukup tidak enak untuk dihirup hehehe. Bahkan jika sedang beristirahat terlalu
lama, tubuh pun sangat tidak enak ketika hendak diajak bekerja kembali. 4 jam
sudah saya beserta rekan-rekan yang lainnya meninggalkan pos pertama ketika
istirahat makan siang. Kini kami semua sudah tiba di Pos 3, sementara Pos 2
sudah kami lewati sedari tadi. Kondisi di pos 3 ini bias dibilang luar biasa
dinginnya, maka saya pun tanpa perlu membuang banyak waktu segera membuka keril
berkapasitas 60 liter untuk mengambil jacket dan segera memakainya. Pos yang
berada di ketinggian 1.819 Mdpl ini merupakan pos terakhir sebelum menuju pos
Plawangan Sembalun, pos dimana mala mini kami semua akan mendirikan camp dan
melanjutkan perjalanan dini hari nanti menuju Puncak Rinjani Mahabiru 3726
Mdpl. Namun sebelum sampai di pos Pelawangan Sembalun kami semua harus
berhadapan dengan sebuah trek yang sangat berat, yang dikalangan para pendaki
disebut dengan bukit penyesalan. Dan benar saja ketika saya melewatinya jalur
yang harus dilalui luar biasa beratnya, selain itu pun kondisi fisik yang mulai
melemah menjadi faktor penghambat. Entah 4 bukit, 5 bukit, 6 bukit atau 7 bukit
yang harus dilalui, karena saya sudah tidak mengingatnya sama sekali, yang saya
ingat ketika saya berhasil mencapai sebuah puncak bukit maka bukit berikutnya
pun sudah menunggu dengan sangat anggun nya di depan pelupuk mata. Pantas saja
dinamakan bukit penyesalan dan penyiksaan. Perlahan namun pasti akhirnya saya
beserta rekan-rekan pun akhirnya tiba juga di pos Pelawangan Sembalun sekitar
pukul 20.00 WITA.
Sebenarnya begitu sampai di Pos
Pelawangan Sembalun, fisik sudah sangat capek dan letih, bahkan untuk
mendirikan tenda pun sudah malas luar biasa rasanya, inginnya langsung meluncur
menuju peraduan mimpi dibalik hangat nya sleeping bag. Namun mau tidak mau
tenda pun harus didirikan dan membuat sedikit makanan untuk tubuh yang sedari
sore sudah sangat merongrong. Ketika tenda berkapasitas 2 orang sudah berdiri
dan siap beraksi didepan kompor dan peralatan masak, tiba-tiba saja cuaca
sangat-sangat tidak bersahabat membuat ciut nyali siapapun yang hendak akan
keluar tenda , beberapa kali angin berhembus dengan sangat kencang nya sehingga
menimbulkan suara-suara yang cukup menakutkan di keheningan malam. Namun jika
pada saat itu saya bersikap egoism aka tanap banyak berfikir pun saya pasti
sudah ikut masuk juga ke dalam tenda meninggalkan urusan dapur yang makin ribet
karena setiap kompor dinyalakan maka beberapa menit kemudian sang api langsung
padam oleh hembusan angin sangat kencang. Tapi setelah difikir berulang kali,
seluruh tim belum makan kembali sejak di pos 1 siang hari, mau tidak mau saya
pun tetap melanjutkan memasak seorang diri dengan memindahkan posisi memasak
tepat di depan tenda yang sedikit tertutup agar sang api kompor tidak cepat
padam. Setelah menyelesaikan urusan dapur yang hanya menghasilkan beberapa
jenis saja dengan kuantiti yang sangat sedikit karena faktor kompor yang selalu
mati tertiup angin. Maka saya pun segera bergabung dengan rekan-rekan yang
lainnya disalah satu tenda untuk sedikit makan dan membicarakan rencana untuk
perjalanan summit attack diri hari nanti.
Setelah makanan disapu bersih
dalam hitungan menit dan sedikit berbincang-bincang akhirnya satu persatu
pasukan pun meminta izin untuk beristirahat di dalam tenda nya masing-masing,
selain karena badan memang sudah meminta jatahnya untuk beristirahat ternyata
jam yang melingkar di tangan pun telah menunjukan pukul 23.00 WITA, yang hanya
menyisakan beberapa jam saja menjelang summit attack dini hari nanti. Tanpa
perlu membuang waktu akhirnya saya pun segera menyusul rekan-rekan lainnya
menuju peraduan mimpi. Tanpa lupa ditemani si MP3 mini sang pujaan hati yang
selalu setia menemani. OPEN FILE -> MUSRIK -> LOCAL HEROES -> EFEK
RUMAH KACA – TUBUHMU MEMBIRU TRAGIS.MP3
kamu ingin melompat…
ingin sekali
melompat…
dari ketinggian di
ujung sana…
menuju entah apa
namanya…
coba bukalah mata…
indah dibawah sana…
tutup rapat kedua
telinga…
dari bisikan entah
dimana…
kau terbang dari
ketinggian…
mencari yang paling
sunyi…
dan kau melayang…
mencari mimpi-mimpi
tak kunjung nyata…
kulihat engkau
terkulai…
tubuh membiru…
tragis… tragis…
perihmu yang
mengganga…
tak hentinya bertanya…
hidup tak selamanya
linier…
tubuh tak seharusnya
tersier…
kulihat engkau
terkulai….
tubuhmu membiru…
tragis… tragis…
Pukul 02.00 WITA angin kencang
Pelawangan Sembalun langsung menyerang seluruh bagian tubuh yang sudah
tertutupi sleeping bag, ketika Mas Agung membuka pintu tenda sehingga mengakibatkan
otomatis tubuh ini langsung terjaga dari alam bawah sadar mimpi. Udara dingin
dan angin yang menggelegar seperti demikian memang pasti akan membuat semua
orang jiper, tidak terkecuali saya sendiri tentunya. Dan inilah rasa dingin
terdahsyat yang pernah saya alami seumur hidup, entah sudah berapa derajat
udara diluaran sana. Pada saat itu saya memilih untuk menyerah saja ketika
rekan-rekan diluaran tenda memanggil-manggil nama saya untuk segera menyusul
mereka melakukan summit attack. Saya lebih memilih melanjutkan beristirahat
dengan balutan sleeping bag yang mulai menghangat kembali, dibandingkan ikut
keluar.
Tapi… tapi… tapi… tapi… tapi…
tapi… entah berapa puluh kata tapi yang tiba-tiba saja menyerang pada saat saya
akan memejamkan mata kembali. Saya pun mencoba berfikir sejernih mungkin dan
menghilangkan rasa kantuk yang mendera. Sayang banget jika saya harus menyerah
begitu saja hanya karena udara dingin dan hembusan angin yang kencang, sangat
cetek rasanya. Percuma saja saya menghabiskan uang dengan jumlah yang sangat
besar untuk perjalanan kali ini, meninggalkan kewajiban mudik yang hanya satu
tahun sekali dan menghambur-hamburkan waktu. Entah tenaga dari mana, tiba-tiba
saja saya segera berdiri melepaskan sleeping
bag, ganti baju, memakai jacket tambahan, sepatu, memasang geyter, mengambil headlamp beserta batere
cadangan dan langsung keluar tenda. Ternyata keadaan diluaran tenda sudah
sangat sepi hanya menyisakan beberapa orang saja, karena sebagian besar yang
lainnya sudah mulai berjalan sedari tadi ketika memanggil-manggil nama saya
didalam tenda. Ketika saya melirik jam, ternyata memang sudah menunjukan pukul
03.00 WITA. Tanpa buang waktu saya pun segera ber doa demi keselamatan selama
perjalanan dan mengambil sebuah air mineral berukuran besar yang tergeletak
begitu saja disamping tenda bersama-sama beberapa botol yang lainnya. Saya pun
segera melangkahkan kaki yang diikuti beberapa rekan-rekan lainnya yang memang
juga tertinggal dari rombongan besar. Rasa kantuk yang masih mendera membuat perjalanan
awal ini sangat tidak maksimal, nyawa pun seperti belum terkumpul semua dan
entah masih berada dimana. Beberapa kali kami melewati kerumunan tenda kosong
yang telah ditinggalkan para penghuninya, kerena mereka semua memang tengah
melakukan perjalanan menuju Puncak Rinjani seperti saya dan rekan-rekan yang
lainnya. Memang masih banyak juga rombongan lainnya yang masih berada di bawah
saya, namun jumlahnya jauh berbeda jika dibandingkan dengan yang terlebih
dahulu.
1 jam pun telah berlalu sejak kami
meninggalkan camp di Pelawangan Sembalun, tiba-tiba seorang teman berkata break, menyuruh kami semua untuk
beristirahat pertama kalinya di tengah malam itu. Seorang rekan Dhea pun
berbicara meminta untuk meminta minum, karena memang dia sudah terlihat cukup
kepayahan dengan medan pasir yang cukup berat selama satu jam pertama. Secara
refleks saya yang berada persis disebelahnya pun memberikan sebuah botol air
mineral yang saya tenteng sejak camp Pelawangan Sembalun. Namun tiba-tiba
saja…….
“Huuuuueeeeeeeeeekkkkkkkkkkkkkkk…………………!”
Dhea memuntahkan kembali seluruh
air minum yang tadi diteguk. Rasa kaget yang bercampur dengan beragam
pertanyaan pun tiba-tiba berkecambuk dalam diri. Tiba-tiba dengan suara parau
nya Dhea pun berbicara…… SPIRTUS!
Astagfirullahaladzim…. Siap yang menyimpan botol isi spirtus
bersatu dengan sisa air minum disekitaran tenda. Saya yang membawa botol
tersebut pun merasa sangat ber dosa dan sangat-sangat bersalah. Namun dengan
cukup cekatan salah seorang rekan yang lainnya Ray memberikan sebuah minuman
berkemasan rasa kacang ijo pada Dhea agar menghilangkan rasa sebal yang
ditinggalkan spirtus didalam mulut terutama pada lidah. Saya pun pada saat itu
menawarkan sebuah pilihan pada Dhea, memilih melanjutkan perjalanan menuju
puncak yang masih amat sangat jauh atau saya antar kembali menuju camp di
Plawangan Sembalun bergabung bersama rekan-rekan lainnya yang memang sedari
awal tidak akan muncak. Namun pada saat itu Dhea lebih memilih untuk
melanjutkan perjalanan menuju puncak meskipun dengan kondisi kepala yang
nyut-nyut an menurutnya. Jadilah dalam sisa perjalanan saya menuntun dan
terkadang menarik tangan Dhea untuk membatu melangkahkan kaki langkah demi
langkah.
“Maafkan teteh Agnes Monica…. tenang saja pada saat itu kami berdua memakai
sarung tangan kok, jadi insya Allah tangan kami berdua tidak bersentuhan secara
langsung dan bukan mahrom nya pun masih terjaga hahahahaha….”
“Agnes Monica says: SAKAREPMU! “
Perjalanan selanjutnya masih sama
saja dengan sebelumnya, berjalan ditengah jalur berpasir dengan bagian
kanan-kiri jurang yang cukup mengangga, namun untung nya malam menjelang subuh
tersebut Allah SWT sangat baik sekali pada kami semua, meskipun angin kencang
tidak berhenti berhembus namun cerahnya langit membuat perjalanan menjadi lebih
sedikit menyenangkan, karena disuguhi pemandangan yang sangat luar biasa
indahnya. Bulan utuh dengan hamburan bintang terlihat dan terasa sangat dekat
hanya beberapa meter saja diatas kepala. Belum lagi bintang jatuh yang terekam
mata, otak dan hati entah berapa kali nyaris tidak terhitung. Kalau kata orang
bilang suasana nya mencekam namun sangat romantis.
“Sayang banget dah moment romantis gini, pas lagi jalan berdua sama s
Dhea! Damn! Coba kalau lagi sama lagi
sama teteh Agnes Monica hahahaha…… piss Dhe :p“
Mungkin detik ini di saat
orang-orang kebanyakan sedang terlelap tidur dibuai mimpi diatas kasur dan
dibalik selimut (harimau) dengan televisi yang masih menyala karena tidak
sempat dimatikan. Saya beserta rekan-rekan yang lainnya justru terjaga berjalan
berjam-jam lamanya demi sebuah hasil yang nantinya tidak akan ternilai oleh
apapun. Dibelakang Dhea nampak sudah sangat kepayahan, meskipun posisinya
ditarik menggunakan tangan ini. Setapak demi setapak langkah kakinya terus
menyusuri terjalnya bebatuan berpasir. Disaat langit ber urat merah
kekuning-kuningan yang seolah menjadi pertanda jika sang surya akan segera
muncul dan menyinari alam semesta, saya dan Dhea masih terus berjalan perlahan
dan diselingi break yang sudah tidak
terhitung dengan jari kami berdua bila digabungkan. Ketika saya menoleh
kebelakang, memang hanya tinggal menyisakan beberapa pendaki saja karena memang
sedari tadi kami berjalan entah sudah berapa pendaki yang mendahului kami.
Menikmati pemandangan sang surya terbit pun harus kami rasakan ditengah-tengah
perjalanan tidak dipuncak Rinjani sang Mahabiru. Tapi tidak mengapa, karena
tiba dipuncak mau jam berapa pun bukan sebuah masalah, yang terpenting kami bisa
sampai disana dan sudah menjadi sebuah prestasi tersendiri. Mahabiru pun kini
sudah terlihat dengan sangat jelas, ternyata dari sudut pandang mata pun
terlihat masih cukup jauh dan bisa menghabiskan waktu beberapa jam lagi untuk
tiba disana.
Kini hitungannya bukan lagi
berapa pendaki yang berhasil menyusul kami, namun berapa pendaki yang
berpapasan dengan kami yang akan turun setelah berhasil melakukan summit attack di Puncak Rinajani. Kondisi
Dhea yang saya kerek pun mulai tidak bisa mengimbangi jalan saya yang bisa
dikatakan sudah sangat-sangat lambat sekali, tampak Dhea sudah sudah sangat
kepayahan dengan stamina yang mungkin sudah habis, beberapa butir coklat dan
keju yang saya berikan pun nyaris tidak berdampak. Diam, diam, diam, diam dan
diam yang hanya bisa dikerjakan. Sebenarnya pada saat itu fisik saya masih kuat
jika harus mengerek Dhea untuk beberapa jam kedepan sampai di puncak Rinjani.
Namun tidak disangka dan diduga akhirnya Dhea pun mengeluarkan sebuah kata yang
sangat-sangat dihindari MENYERAH. Padahal puncak sudah terlihat dengan sangat
jelas, menyisakan kurang lebihh 1 sampai 2 jam perjalanan lagi. Pada saat saya
paksa kembali nampaknya Dhea pun seperti sudah tidak sanggup, hal itu terbukti
dengan posisi jalan nya yang sudah sempoyongan. Akhirnya beberapa meter
didepan, saya pun bertemu dengan beberpa orang panitia yang memang tengah
beristirahat sambil menunggui yang lainnnya. Akhirnya Dhea pun memilih
bergabung dengn para panitia untuk kembali lagi kebawah dan menyuruh saya untuk
melanjutkan perjalanan. Ketika melirik jam ternyata sudah menunjukan kurang
lebih pukul 09.00 WITA, sebenarnya sayang banget jika harus menyerah setelah
berjalan hampir 6 jam lamanya dan tinggal menyisakan perjalanan yang kurang
lebih hanya tinggal 1-2 jam saja. Namun setelah segala upaya untuk membujuk
gagal, akhirnya mau tidak mau saya pun melanjutkan perjalanan kembali menuju
puncak bersama beberapa rekan yang lainnya Arum dan Indah. Yang secara
kebetualn memang sedang beristirahat juga beberapa meter setelah Dhea menyerah.
Langkah demi langkah pun mulai terasa capeknya kali ini, padahal selama 6 jam
kebelakang berjalan dengan posisi menarik tidak terasa terlalu capek, tetapi
ketika melakukan perjalanan seorang diri rasa capek nampaknya secara perlahan
mulai menjalar pada sekujur tubuh. Ketika Mahabiru tinggal menyisakan beberapa
meter saja, tanpa memperdulikan rasa capek sayapun segera mempercepat langkah
kaki nyaris berlari.
“ALLAHUAKBAR…………….!!!”
Secara refleks diri ini tiba-tiba
saja bersujud dan airmata pun mulai keluar secara perlahan dari pelupuk mata.
Teman-teman lainnya yang menunggu dipuncak pun menyalami saya secara
bergantian. Rasa haru, bangga, bahagia pun berkecambuk menjadi satu di dalam
diri. Terbayar sudah rasa lelah dan berat nya perjuangan untuk menggapai
Mahabiru. Keindahan di depan mata pun masuk kedalam hati hingga memberikan rasa
tenang dan kebahagiaan yang sangat luar biasa dan tidak bisa dibayar olah
apapun itu. Kuarahkan pandangan mata pada sekeliling, awan-awan masih dengan
sangat setia nya berkumpul bagaikan kapas gulali makanan khas pasar malam para
kaum yang termarjinalkan. Gunung Tambora di Pulau Sumbawa dan Gunung Agung di
Pulau Dewata pun terlihat hanya bagian puncak nya saja karena bagian yang
lainnya tertutup gerombolan awan. Dan di bawah sana terlihat dengan sangat
eksotis nya Danau Segara Anak beserta Gunung Ibu Jari nya yang mulai tumbuh
membesar. Hanya ada satu kata saja yang dapat mewakili semuanya, JUARA!
Mahabiru – Rinjani
Mendaki jalanmu nyaris
seperti mendaki kehidupan
Perut lapar udara
dingin angkuhnya matahari
bagian sebuah perjuangan
Persahabatan
pertentangan persaudaraan perpecahan
menjadi sebuah bumbu
Karena ego dan
kesabaran menjadi
dua mata pisau yang
siap beradu
Semua itu demi sebuah
mimpi dan arti kata
manusia merdeka
seperti degup jantungmu
Layaknya sepasang
remaja yang sedang bercumbu
dikejar waktu tanpa
tahu malu
Mahabiru…..
kecantikanmu menjadi
pelipur lara raga yang
mengangga
Mahabiru…..
keramahanmu menghilangkan
segala keluh kesah
yang kami bawa
Mahabiru….. kebekuanmu
mencairkan
angkuh nya jiwa
Mahabiru….. terima
kasih untuk semua
hingga kumenyadari
akan kecilnya diri ini
dihadapan Sang Pencipta
dihadapan Sang Pencipta
Dwi Anugrah
Mugia Utama
Senin, 5
September 2011; 10.30 WITA
Setelah puas
merasakan salah satu karunia Allah SWT yang tiada duanya di Puncak Gunung
Rinjani hampir satu jam lamanya. Akhirnya saya beserta rekan-rekan pun mulai
melangkahkan kaki untuk turun kembali ke bawah, langkah kaki pun harus
diperhatikan dengan se seksama dan sehati-hati mungkin, karena di sisi kiri dan kanan jurang sangat begitu
mengangga. Belum lagi medan pasir yang
begitu licin nya membuat saya seperti sedang bermain sepatu roda diatas pasir.
Namun terbesit rasa sedih yang cukup berat ketika harus meninggalkan Mahabiru
siang itu, namun lambat laun rasa kesedihan tersebut berganti dengan rasa haru dan
bangga. Ternyata tempaan kehidupan ala perkotaan setiap harinya yang terkadang
membuat diri saya lemah bisa juga tergantikan dengan cukup baik ketika saya
sedang melakukan sebuah pendakian, allhamdulilah.
Sekitar pukul
15.00 WITA akhirnya saya pun tiba kembali dengan sehat walafiat tidak
kekurangan suatu apapun di pos Pelawangan Sembalun. Kedatangan saya beserta
rekan-rekan pun disambut oleh beberapa rekan lainnya yang memang tidak muncak. Begitu
tiba, allhamdulilah sudah tersaji
beberapa makanan yang telah siap untuk untuk dimusnakan dengan sesegera
mungkin. Sehingga dalam kondisi capek dan lapar seperti ini saya tidak harus
menunggu terlalu lama untuk memasak. Selepas mengisi perut sebenarnya saya
sudah bersiap untuk beristirahat tidur untuk 2-3 jam kedepan, sekedar
menyegarkan badan. Namun terdengar beberapa kali dari luaran tenda, beberapa
kali pihak panitia meminta kami untuk mulai melakukan packing barang, sebagai
persiapan perjalanan menuju Danau Segara Anakan. Jujur pada saat itu saya
sangat marah pada pihak panitia, bagaimana tidak disaat tubuh sangat lelah luar
biasa setelah melakukan perjalanan yang sangat berat ditambah sangat kurang nya
tidur di malam harinya. Beberapa orang panitia dengan sangat enteng nya agar
kami bersiap kembali melakukan perjalanan. Namun akhirnya sang ketua kelompok
kami Djal mencoba berunding dengan pihak panitia, akhirnya kami semua
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan selepas Maghrib, dengan pertimbangan
salah seorang rekan kami Indah memerlukan istirahat. Setelah pada saat tadi
muncak terserang sebuah penyakit yang menyerang pernafasan. Jujur sebenarnya
yang saya pribadi inginkan yakni nge camp untuk satu malam lagi di Plawangan
Sembalun ini, bukan mengapa karena bisa dikatakan kelompok kami sangat
membutuhkan istirahat yang lebih. Bisa dibayangkan pada hari itu saya sendiri
berjalan dan mendaki kurang lebih 11 jam, belum beberapa rekan yang lebih
banyak 1-2 jam. Kini kami harus dihadapkan kembali pada perjalanan menuju
danau, padahal bisa dikatakan sebagian besar para peserta yang bergabung
merupakan orang baru dalam dunia pendakian, bahkan beberapa orang di kelompok
saya sendiri sebagian besar nya baru pertama kali merasakan bagaimana rasanya
naik gunung. Namun pihak panitia menjadikan jadwal sebagai tolak ukur, akhirnya
kami semua pun mau tidak mau harus mengalah dan kembali melanjutkan perjalanan.
Rasa kantuk yang awalnya sangat mendera pun otomatis raib entah kemana ketika
rasa emosi bergelora. Akhirnya saya pun lebih memilih diam dan urusan dapur
menjadi sebuah pelarian yang cukup mujarab. Selesai memasak dan memakan nya
beramai-ramai saya pun mulai melakukan packing ulang barang bawaan yang sudah
tercecer kemana-mana.
Selepas Maghrib
(meskipun tidak terdengar suara adzan sedikitpun) kami semua telah siap melanjutkan
perjalanan menuju Danau Segara Anakan dibawah sana. Kali ini perjalanan saya
bisa dikatakan sangat lambat sekali, selain karena stamina yang tersisa hanya
tinggal sedikit, medan turunan yang harus dilalui pun cukup curum hingga
perjalanan pun harus dilakukan dengan sangat ekstra hati-hati. Konsentrasi
penuh benar-benar diperlukan ketika melakukan perjalanan dikegelapan malam hari
seperti ini, hal ini pun terbukti dengan tergelincirnya beberapa teman karena
kurang nya konsentrasi. Pada saat itu saya dan Mas Agung berjalan dibagian
depan rombongan, karena memang kami ber dua berencana duluan untuk sampai di
danau. Namun belum lama kami berjalan kami berdua memilih jalur yang salah,
jalur yang dilalui terus menerus menurun dan jalur nya pun menyempit. Ketika
terus berjalan ternyata kami berdua sudah berada di tepian jurang. Subhanallah…. Mau tidak mau kami pun
harus berjalan kembali ke jalur yang sebelum nya telah dilalui. Namun begitu
menmui jalur besar yang sebelumnya telah dilalui, samar-samar mulai terlihat
cahaya yang bersumber dari headlamp yang dipakai oleh rekan-rekan. Akhirnya
saya dan Mas Agung pun memilih untuk menunggu dan melanjutkan sisa perjalanan
bersama kembali dengan rekan-rekan yang lainnya. Sekitar pukul 23.00 WITA
akhirnya saya beserta sebagian besar rekan tim yang lainnya tiba juga di
sekitaran Danau Segara Anak. Namun ada beberapa rekan wanita yang katanya tiba
disekitaran danau ini baru pukul 02.00 WITA bersama beberapa orang dari pihak
panitia.
Tanpa membuang waktu saya pun
segera mendirikan tenda berkapasitas 2 orang yang selau setia menemani. Selepas
tenda berdiri, beberapa rekan mulai menyibukan diri dengan urusan dapur, untuk
sekedar membuat minuman hangat ata cemilan-cemilan. Namun pada saat itu saya
sudah sangat tidak berselera sama sekali untuk makan atau bahkan sekedar
minum-minuman hangat. Akhirnya saya pun meminta izin kepada rekan-rekan yang
lainnya untuk beristirahat duluan ditengah cuaca Danau Segara Anak yang sudah
mulai membeku diakibatkan hembusan angin yang lambat laun mulai terasa besar.
Saya pun segera masuk dan menutup tenda, mengganti baju dan segera membiarkan
tubuh ini dibalut sleeping bag yang cukup hangat. Akkkhhhhhhh……. nikmatnya! Sebagai pengantar tidur saya pun segera
mengeluarkan MP3 mungil kesayangan dan OPEN FILE -> MUSRIK -> WESTSIDE
-> ERIC CLAPTON – WONDERFUL TONIGHT.MP3
Selasa, 6 September 2011
Pukul 08.00 WITA dan inilah
bangun tidur ternikmat selama seumur hidup, setelah seharian kemarin badan ini
terposir habis-habisan, tidur dengan kuantiti dan kualitas yang sangat pas
membuat badan ini sangat segar untuk memulai hari baru di salah satu sudut
Danau Segara Anakan Gunung Rinjani. Akkkkkhhhhhhh…………. awal hari yang sangat
menyenangkan dan membuat hati sangat gembira.
Gunung Rinjani, jaga tempat mu baik-baik... tunggu saya datang kembali... menyapa mu... tersenyum pada mu…
Ternyata kondisi diluaran tenda
sudah begitu ramai nya, karena beberapa teman sedang berurusan dengan masalah
dapur dan sebagian besar lainnya sedang merasakan sensasi berendam air panas di
salah satu sudut Danau Segara Anakan ini. Wow….. saya pun tidak ingin kalah tentu nya,
tanpa perlu membuang waktu saya pun segera membawa beberapa peralatan mandi
dari dalam keril kesayangan. Ternyata tempat kolam air panas ini tidak begitu
jauh dari tempat kami nge camp,
kurang lebih berjalan sekitar 5 menit saja dengan menaiki dan menuruni bukit
yang menukik cukup tajam. Kondisi aliran sungai air panas ini sudah tidak
terlalu ramai menurut salah seorang teman, tidak seperti beberapa jam yang
lalu. Saya dan beberapa rekan pun langsung mencari spot yang merenah tumaninah
untuk merasakan sensasi yang sangat luar biasa ini. Begitu badan masuk ke dalam
air yang sangat panas ini secara perlahan dan bertahap, rasanya tubuh seperti
sedang dipijat dan sangat luar biasa nikmat nya dan tiada dua. Memang Allah SWT
maha baik, bagaimana tidak setelah kita bercapek-capek ria selama 2 hari
kebelakang, tiba-tiba saja kecapek an itu terbayar tunai tanpa kredit saat itu
juga. Hanya ada satu kata LUARBIASANIKMATNYA!
Setelah berendam dan sedikit
mandi, saya dan mas Agung pun mengambil air bersih untuk persediaan di sebuah
mata air yang ternyata terletak tidak begitu jauh dari kolam air panas. Unik
sangat, air panas dan air dingin tetanggaan ternyata sumber mata air nya.
Rinjani… Rinjani… Rinjani… kejutanmu memang ga ada abisnya. Keadaan sumber mata air pagi itu ternyata
begitu ramai nya oleh para pendaki, kerena sumber air itu hanya terdiri dari 2
pancuran yang secara terus menurus mengalir sedangkan para pendaki pagi itu
sedang banyak-banyak nya, maka mengantri pun menjadi sebuah pilihan yang mau
tidak mau harus dilakukan. Akhirnya saya pun memilih menunggu di pinggiran
jalur sedangkan tugas mengantri air dibebankan sepenuhnya pada mas Agung
hehehehe. Setelah selesai mengisi air, saya dan mas Agung pun segera menemui
rekan-rekan lainnya yang ternyata masih asyik berada di depan kompor. Entah
memasak apa, yang pasti dari tadi belum beres-beres. Tapi inilah sebenarnya
salah satu seni terdahsyat jika sedang naik gunung, bercengkraman dan ngobrol
ngarol-ngidul sambil ditemani minuman-minuman hangat dan sedikit cemilan.
Memang secara kasat mata mungkin sama saja jika kita sedang mengobrol dengan
teman-teman baik itu di sebuah cafe atau tempat lainnya. Tapi percayalah saling
bercengkraman di alam terbuka seperti ini mempunyai sensasi tersendiri, rasa
kekeluargaan yang terbangun pun akan sangat jauh berbeda dengan tempaan ala
perkotaan.
Setelah perut terisi dengan
sangat sempurna pagi hari ini, saya pun segera menyusul beberapa rekan yang
lainnya yang sedang begitu asyik nya memancing di Danau Segara Anakan. Ya
sekedar informasi Danau Segara Anakan ini memang banyak sekali dihuni oleh
berbagai jenis ikan, seperti ikan karper, mas atau mujaer. Ikan disini boleh
dipancing oleh siapapun yang berkunjung kesana, bahkan penduduk asli sekitar
Taman Nasional Gunung Rinjani pun sering mendatangi tempat yang luar biasa
indahnya ini, hanya untuk sekedar memancing dan memakan nya bersama-sama
anggota keluarga yang lainnya. Konon entah benar atau tidak bibit-bibit ikan di
sekitaran Danau Segara Anakan ini dahulu disebar oleh Alm. Ibu Tien Soeharto ketika
masih menjabat sebagai Ibu Negara. Maka jangan heran karena keindahan nya yang
sangat luar biasa ini Danau Segara Anakan pun pernah menjadi gambar pada mata
uang rupiah pecahan Rp.50.000 pada masa orde baru yang lalu.
Nama Segara Anakan sendiri mempunyai
arti Anak Lautan. Yang awalnya merupakan hasil letusan Gunung Rinjani lama yang
sangat besar dan lambat laun hasil semburan lava tersebut pun mulai terisi air
dan jadilah sebuah danau kawah tidak aktif yang sangat indah. Luas danau ini
kurang lebih sekitar 11.000.000 meter persegi, memiliki kedalaman 230 meter dan
berada pada ketinggian 2000 Mdpl. Ditengah-tengah Danau Segara Anakan tersebut
terdapat sebuah gunung yang bernama Gunung Ibu Jari. Terbentuknya Gunung Ibu
Jari ini berkaitan erat dengan letusan terakhir Gunung Rinjani di tahun 1994
silam, pada saat itu letusan hebat Gunung Rinjani mengakibatkan pembentukannya
sebuah gunung baru akibat terangkatnya dasar Danau Segara Anakan. Gunung Ibu
Jari ini didominasi oleh pasir dengan kondisi yang sangat kering dan gundul.
Puncak Gunung Ibu Jari sendiri memiliki ketinggian 2296 – 2376 Mdpl. Namun
setiap harinya ketinggian gunung ini terus bertambah karena semburan – semburan
kecil yang sering terjadi sehingga menghasilkan tumpukan-tumpukan pasir baru di
lapisan paling atas. Selama Bumi masih berputar…. Rinjani pun akan tetap
hidup….
Photo session Danau Segara Anakan pun seolah menjadi menu wajib
kami semua dan mungkin memakan waktu yang paling lama. Entah sudah berapa spot yang saya dan teman-teman lainnya datangi
demi mendapatkan hasil dan angel yang sesempurna mungkin. Namun ternyata foto
dimana pun hasil nya tetap saja bagus, karena kali ini faktor latar belakang
foto yang membuat semuanya seakan sempurna. Bukan lagi sang pemegang camera,
camera yang dipakai atau siapa yang menjadi model nya. Setelah semuanya dirasa
cukup, kami semua pun segera menuju camp
untuk bersiap-siap sekaligus melakukan packing
ulang untuk melanjutkan perjalanan menuju meeting point berikutnya Plawangan Senaru. Beberapa teman yang sedang
mancing pun saya tarik paksa agar mereka pun untuk segera melakukan packing ulang. Karena jika tidak dipaksa
mereka semua terlalu santai bisa lupa lupa waktu dan lupa segalanya, tapi jika
dilihat hasil tangkapan nya sangat payah, mereka hanya mendapatkan beberapa
ikan saja yang ukuran nya pun kecil-kecil. Berbeda jauh dengan para pendaki
lainnya yang terlihat hasil tangkapannya sangat luar bisa banyak dan ikan yang
didapatkan pun berukuran besar-besar. Skill
sang pemancing kali ini yang menentukan hehehe. Bahkan beberapa kali saya
menemui para pendaki yang sedari awal memang sengaja membawa umpan racikan nya
sendiri dari rumah nya masing-masing, maka makin terlihat lah mana mereka yang
benar-benar niat untuk memancing di Segara Anakan atau hanya sekedar icikibung memeriahkan suasana seperti
teman-teman saya.
Tepat pukul 13.30 WITA akhirnya
kami semua pun mulai meninggalkan Danau Segara Anakan dengan kesedihan dan
kekecewaan, karena kami semua hanya sebentar saja menikmati suasa yang sangat
mengaggumkan maha karya sang Pencipta ini. Namun saya sempat berjanji dalam
hati, jika memang masih di berikan umur, suatu saat insya Allah pasti saya akan
kembali lagi ke Danau Segara Anakan ini. Untuk sekedar berlibur menghabiskan
waktu sampai satu minggu mungkin hehehe who knows?. Sebelum melangkahkan kaki
pertama yang dilanjut dengan puluhan ribu langkah kaki lainnya, tak bosan-bosan
nya saya pun berdoa pada Allah SWT Sang Maha Segala nya agar diberikan
kemudahan dan kelancaran selama sisa perjalanan ini. Trek awal yang kami lalui
yakni mengelilingi danau Segara Anakan ke arah kanan jalan, namun beberapa kali
kami pun harus melewati akar-akar pohon yang menggantung tepat di atas air
danau. Selepas Danau Segara Anakan habis terlewati, trek yang dilalui pun
kembali berbeda, kali ini jalur menanjak pun mau tidak mau harus dihadapi. Dan
secara keseluruhan trek nya pun bisa dibilang cukup berat, karena kita berjalan
melewati punggungan gunung yang secara kemiringan pun cukup lumayan parah.
Namun selama perjalanan ini lagi-lagi pemandangan Danau Segara Anakan membuat
mata dan hati ini tak pernah bosan untuk melihat dan mengaguminya. Bahkan dalam
perjalanan menuju Pelawangan Senaru kali ini saya sempat berjalan bersama 2
orang bule asal Nantes France, yang berkali-kali memuji keindahan Gunung
Rinjani beserta Segara Anakan nya ini. Bahkan melalui percakapan singkat ketika
kami semua sedang beristirahat bersamaan sambil menikmati Segara Anakan dari
ketinggian, bahwa mereka berdua memang sengaja mengunjungi pulau Lombok ini dalam
rangka bulan madu pernikahn mereka berdua. Selain menuju Rinjani mereka pun
berencana akan berkunjung ke Senggigi dan Gili Trawangan dan akan diakhiri
dengan mengunjungi Thailand sebagai penutup nya. Ketika saya bertanya mengapa
mereka bisa sampai memilih Pulau Lombok,mereka pun menjawab dengan sangat
singkat, heavier than heaven. Wow….
jujur saya terharu mendengar jawaban dua bule yang sedang tepat berada di depan
saya ini, meskipun terdengar sangat hiperbolis namun tetap saja saya sangat
menikmati pujian tersebut, semakin bangga lah diri ini dengan keindahan Negara
kepulauan terbesar di dunia Indonesia. Setelah istirahat dirasa cukup, mereka
berdua pun meminta izin untuk melanjutkan perjalanan terlebih dahulu. Sambil
melangkahkan kaki, mereka pun sedikit berkata yang nyaris seperti berteriak
pada saya, your country is amazing!.
Saya hanya pun hanya bisa tersenyum dan berkata pelan thank you J.
Teman-teman yang berjalan
dibelakang saya sedari awal perjalanan pun mulai terlihat kembali, maka saya
pun mulai berdiri dan memasang kembali keril di pundak yang beratnya nyaris
tidak berkurang sama sekali semenjak keberangkatan. Perjalanan menuju
Pelawangan Sembalun pun saya lanjutkan kembali dengan berjalan seorang diri.
Trek yang harus dilalui bisa dikatakan cukup enak, karena kita hanya melewati
punggungan tebing yang menjulang tinggi dengan jalur yang kadang menanjank
namun terkadang juga menurun. Bahkan sekitar dua kali saya melewati sebuah
jembatan yang terbuat dari semi besi dengan posisi tergantung, aneh sekaligus
unik. Baru pertama saya nemu gunung yang ada tangga semi besi ditengah-tengah
perjalanan nya hehe, saya pun langsung berfikir gimana caranya tuh tangga bisa
di bawa sampe di ketinggian ini. Sekitar pukul 17.00 WITA akhirnya saya yang
berjalan seorang diri pun tiba juga di pos Plawangan Senaru, sedari awal memang
saya berencana akan menunggu rekan-rekan yang lainnya disini sambil sedikit
beristirahat. Di pos Plawangan Senaru ini ternyata saya bertemu beberapa orang
rekan yang lainnya, maka saya pun ikut beristirahat bersama dengan mereka tepat
di antara 3 tenda milik bule Belanda. Kenapa saya tau mereka orang Belanda?
karena terdengar dari bahasa yang mereka pergunakan hehehe…. Namun rencana
tinggallah rencana, udara dingin yang menyelimuti Plawangan Senaru membuat saya
dan yang lainnya tidak kuat jika harus diam disini lebih lama lagi, badan ini
harus sesegera mungkin kembali digerakan agar keringat dapat kembali keluar
seperti sebelumnya. Maka saya dan yang lainnya pun memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan kembali, dan menunggu di pos berikutnya yang sedikit tertutup hutan
agar udara nya tidak se ekstrem seperti di Pelawangan Senaru ini. Perjalanan
pun dilanjutkan kembali dengan melewati medan pasir yang cukp mengganggu mata
dan pernapasan, karna debu langsugn beterbangan ke segala arah tertiup angin
ketika kaki bergerak sedikit saja diatas permukaannya. Menjelang maghrib saya
dan salah seorang rekan Apoey pun tiba juga di pos 3 yang sekaligus juga
merupakan pos terakhir untuk kawasan berpasir, karena dari sini sampai bawah jalur
yang akan dilaui yakni trek yang menurun diantara rerimbunan pohon hutan.
Ketika yang lainnya sedang beristirahat di pos 3 ini saya dan Apoey lebih
memilih untuk melanjutkan perjalanan saja, karena badan memang sudah tidak kuat,
berdiam diri sebentar saja badan langsung terasa drop dan membutuhkan waktu
lebih lama lagi untuk mengembalikan nya pada posisi on the top. Saya beserta
Apoey pun secara perlahan tapi pasti mulai berjalan secara beriringan ditengah
hutan yang gelap gulita dan hanya bermodalkan cahaya dari headlamp yang
terpasang saja. Lambat laun jalan kami berdua yang awal nya sangat pelan dan
lambat pun berubah menjadi jalan cepat, ternyata memang benar pada saat turun
seperti ini lebih enak berjalan dengan ritme cepat karena tidak akan terasa
begitu capek, berbeda dengan berjalan lambat badan seperti terasa semua. Sekiar
pukul 20.00 WITA kami berdua pun akhirnya tiba di pos 1, sedangkan pos 2 sudah
kami lalui sedari tadi dan tidak berhenti sama sekali disana karena kondisi nya
tidak ada satu orang pun dan sangat-sangat menakutkan. Ternyata keadaan di pos
1 ini kami bertemu dengan beberapa teman rombongan yang tengah beristirahat dan
berbincang-bincang ngalor ngidul, akhirnya saya dan Apoey pun memilih bergabung
dengan mereka semua untuk sekedar istirahat dan makan cemilan-cemilan yang
tersisa diantara mereka semua hehehe. Kurang lebih sekitar 30 menit kami
habiskan untuk bersanda gurau dan menghabiskan 2 batang rokok sebagai teman.
Perjalanan menuju pintu pos Senaru pun dilanjutkan kembali, kali ini saya dan
Apoey akan mencoba sesuatu yang berbeda, saya mengajak salah seorang porter
Gunung Rinjani yang telah habis masa bakti nya untuk berlari sampai ke pintu
hutan. Dan benar saja belum apa-apa sang porter sudah berlari cukup kencang dan
sangat cekatan melewati jalan yang menurun diantara rerimbunan hutan sambil
membawa keranjang kayu (senjata para porter Rinjani) yang telah kosong isinya.
Sebelum mulai berlari dibelakang sang porter saya pun sempatkan terlebih dahulu
melihat jam berapa saat ini untuk mengukur waktu yang akan dihabiskan nantinya,
ternyata pukul 21.15 WITA. Ok! Bissmilahirahmanirahim….. saya dan Apoey pun
mulai berlari-lari mengejar-ngejar sang porter di depan sana, yang membuat BT
semakin saya mendekat dengan sang porter maka dia pun seperti otomatis akan
mempercepat laju larinya, nampaknya sang
porter tidak mau jika sampai tersusul oleh kami semua, hari diri sebagai porter
yang menjadi taruhannya mungkin hehehehe….. Saya beserta yang lainnya pun
seperti segerombolan kacil yang berlari di tengah hutan dimalam hari sambil
sesekali loncat-loncat an untuk menghindari jalur jelek yang akan dilalui.
Ternyata pintu hutan pun sudah terlihat dengan jelas nya di depan mata dan
hanya menyisakan beberapa meter saja. Allhamdulillah….. refleks saya pun
langsung melihat jam kembali, what ? 21.30 WITA. Berarti cuma menghabiskan 15
menit dari pos 1 menuju pos hutan Senaru ini. Kami pun segera memburu sebuah
warung yang tepat berdiri di dekat pintu hutan ini, sebuah coca cola segar pun
menjadi buruan utama saya. Hanya dalam hitungan detik 1 kaleng coca cola pun
habis tak tersisa seolah menggantikan cairan yang habis kala dipakai marathon
ala Pelawangan Senaru. Pukul 21.50 WITA akhirnya rekan-rekan lainnya yang tadi
beristirahat bersama-sama di pos 1 pun tiba juga di pos hutan ini. Yang mereka
lakukan pun sama persis seperti kami sebelumnya, menyerbu warung mungil di
pintu pos hutan ini.
Pintu hutan Senaru ini sebenarnya
merupakan tempat meeting point berikutnya yang telah ditetapkan panitia agar
seluruh peserta kumpul terlebih dahulu semuanya disini, namun ada beberapa
rekan yang lainnya lebih memilih untuk langsung turun kembali menuju pintu pos
utama Plawangan Senaru yang terdapat kantor pengelola TNGR. Namun saya dan
Apoey lebih memilih untuk mendirikan camp disini dan menunggu rekan-rekan yang
lainnya, cukup sudah ke egoisan kami berdua meninggalkan mereka semua di
belakang sana. Setelah istirahat dirasa cukup, saya da Apoey pun mulai
mendirikan 2 buah tenda yang kami bawa, 1 tenda berkapasitas 2 orang milik saya
dan 1 tenda berkapsitas 4-5 orang milik kelompok. Akhirnya saya dan Apoey pun
mulai memasuki tenda berukuran 2 orang milik saya untuk segera beristirahat dan
membiarkan tenda berkapasitas 4 orang di sebelah dengan keadaan kosong dengan
tujuan jika mereka semua tiba disini mereka bisa langsung tidur tanpa perlu
dahulu mendirikan tenda. Seperti biasa sebelum memejamkan mata, kembali MP3
tercinta pun mau tidak mau wajib menjadi pe nina bobo yang sangat begitu ampuh
bagi saya OPEN FILE -> MUSRIK -> LOCAL HEROES -> SORE – SETENGAH LIMA.MP3