![]() |
Gunung Pangrango *istimewa google |
Jumat, 17 Juni 2011
2 hari sebelum keberangkatan saya beserta Inay pun sudah membuat itinerary yang langsung saya kirimkan via email pada seluruh tim yang akan berangkat. Tempat meeting point yang akan berangkat bersama-sama dari Bandung pun telah disepakati di stasiun bandung, sedangkan bagi yang berangkat dari Bogor dan Jakarta meeting point nya langsung di daerah Cibodas. Tepat pukul 17.00 WIB kami semua pun sudah berkumpul di salh satu sudut stasiun, meskipun sebenarnya sih ngaret 1 jam dari waktu yang tertera pada itinerary hehehe. Tanpa berlama-lama kami pun segera memasuki stasiun bagian dalam tanpa lupa membeli tiket Kereta Api KRD dengan tarif hanya seribu rupiah saja per orang nya. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya kereta tua bersuara mengkhawatirkan dan berpenampilan tak elok pun menampakan wujudnya dari arah timur stasiun.
Adzan Maghrib pun berkumandang dari salah satu surau ketika kaki kami menginjakan diri di salh satu sudut stasiun Padalarang, itu berarti kami menghabiskan waktu kurang lebih 1 jam lamanya di atas kereta rakyat tersebut. Dari stasiun Padalarang kami pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju pintu tol Padalarang untuk mencari bus antar kota yang akan mengantar kami menuju tempat tujuan akhir, Cibodas. Sekitar pukul 18.30 WIB kami semua pun mulai menaiki bus Doa Ibu 'yang lebih mujarab dari doa SBY' kelas Ekonomi dengan tarif Rp.15.000/orang nya. Kurang lebih 2 jam lamanya kami menghabiskan waktu diatas bus antar kota tersebut, obrolan-obrolan denagn topik yang tidak jauh dari gunung pun kami coba bicarakan agar efek jenuh selama perjalanan ini tidak begitu terasa. Sekitar pukul 20.30 WIB kami rombongan yang dari Bandung pun akhirnya tiba juga di pertigaan Cibodas, yang merupakan akses utama menuju pasar Cibodas dimana disalh satu sudut pasar tersebut berdiri dengan gagah nya kantor pengelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Setibanya di pertigaan Cibodas kami mencobamembeli beberapa keperluan logistik yang dirasa kurang di sebuah mini market modern yang buka 24 jam nonstop. Pada saat yang bersamaan om Gilang pun tiba di pertigaan Cibodas ini seorang diri dari tempat tinggalnya dibialngan kota Bogor. Ketika persiapan logistik dan yang lainnya dirasa cukup,kami semua pun segera menaiki sebuah angkot yang pada saat itu tengah ngetem dengan sabarnya menunggu para penumpang. Kurang lebih 20 menit kami habiskan terombang ambing diatas angkot dengan kondisi jalan yang menanjak dan sedikit bergelombang,ciri khas jalanan beraspal di Negeri ini. Setelah menyelesaikan proses administrasi dengan sang supir sebesar Rp. 5.000/orang nya, kami pun mulai menuju tempat meeting point dengan rekan-rekan yang berangkat berbeda tempat,warung Mang Idi.
Sabtu, 18 Juli 2011
Pukul 05.30 WIB kami semua sudah terbangun disalah satu sudut warung Mang Idi, tanpa komando kami semua pun segera melakukan packing ulang, shalat subuh, sarapan, serta urusan wajib dan teramat penting toilet. Pukul 07.00 WIB kami pun sudah siap untuk melakukan sebuah petualangan 2 hari kedepan menuju puncak gunung Pangrango. Setelah menyelesaikan proses administrasi di kantor TNGGP dan sedikit photo session kami pun melangkahkan kaki tanpa lupa berdoa pada yang maha kuasa Allah SWT, agar segera dilancarkan segala sesuatunya. Trek awal yang dilalui bisa dibilang cukup enak, karena kita hanya melewati anak tangga yang tertata dengan sangat rapih untuk ukuran sebuah gunung. Pukul 07.30 WIB tanpa terasa sudah sampai di pos pertama Talaga Biru, sedikit beristirahat dan kembali melakukan photo session di sebuah telaga yang sebenarnya jauh dari kata biru, keadaan danau pun nyaris tidak terurus dan kotor, bahkan warna air di dalam danau pun berwarna hijau layaknya air di sungai-sungai yang yang berada di perkotaan. Setelah istirahat dirasa cukup, perjalanan pun kami lanjutkan kembali, medan yang dilalui masih sama yakni berupa undakan anak tangga yang tersusun rapih lalu ditengah-tengah perjalanan disambung dengan menyebrangi jembatan-jembatan yang tersusun dengan sangat rapih yang terbuat dari beton lalu dilanjut kayu. Tanpa terasa sekitar pukul 08.00 WIB kami pun sudah tiba di pos berikutnya pos Panyangcang. Di pos ini pula jalur terbagi menjadi 2, jalur kiri dan menurun menuju air terjun Cibereum yang merupakan tempat rekreasi bagi masyarakat umum yang ingin sekedar melepas kepenatan sambil menikmati salah satu maha karya sang Pencipta yang sangat luar biasa indahnya. Sedangkan jalur menuju puncak gunung Gede dan Pangrango berada di jalur kanan dan menanjak. Selepas pos Panyangcang ini medan yang harus dilalui baru berbeda dengan sebelumnya, jalanan tidak lagi berbentu anak tangga tapi jalan setapak diantara pohon-pohon yang menjulang tinggi, ciri khas kawasan hutan tropis. Ternyata trek yang harus dilalui bisa dibilang cukup membosankan, karena bisa dikatakan hanya begitu-begitu saja dan nyaris landai tapi sangat memutar. Pukul 10.40 WIB akhirnya kami semua tiba juga di pos berikutnya yakni Air Panas, oh ya disini dianjurkan untuk berhati-hati karena hanya bebatuan licin yang menjadi pijakan untuk berjalan, jika sedikit saja kurang berhati-hati bersiap-siap lah kaki akan tercemplung kedalam aliran air panas yang keadaannya panas luar biasa. Disamping kanan jalur pun langsung terhubung dengan jurang yang menjadi aliran air panas, namun untung saja para pengelola TNGGP sudah memasang pagar agar yang melewati mempunyai pegangan untuk melewati jalur air panas. Selepas air panas rute yang dilalui masih sama yakni jalan setapak ditengah hutan, namun jalnnya kali ini sedikit menanjak berbeda dengan sebelumnya yang cukup landai. Ternyata perjalanan dari Air Panas menuju pos berikutnya terbilang cukup jauh. Baru sekitar pukul 13.00 WIB kami semua tiba di pos Kandang Badak, dengan nafas yang sudah tidak beraturan dan keringat yang bercucuran.Sesuai kesepakatan sebelum perjalanan, kami memang berencana akan beristirahat disini, sekedar makan siang dan melakukan shalat dzuhur. Ketika peralatan tempur hampir dikeluarkan untuk memulai proses masak memasak, ternyata ada tukang nasi uduk yang sedang berkeliaran di sekitar pos Kandang Badak. Akhirnya saya beserta rekan-rekan pun memutuskan untuk tidak memasak dan membeli nasi uduk saja untuk makan siang. Kurang lebih satu jam lamanya kami menghabiskan waktu di pos Kandang Badak ini, sekitar pukul 14.00 WIB kami semua pun sudah siap kembali untuk melanjutkan perjalanan. Oh ya hampir saja lupa, saya ingin sedikit bercerita mengapa pos ini sampai diberi nama Kandang Badak, konon menurut sejarah tempat ini merupakan tempat habitat hewan Badak dan semua hewan tersebut musnah akibat letusan besar Gunung Gede di tahun 1840 an. Selepas pos Kandang Badak ini kita bertemu dengan pertigaan yang menjadi tempat pertemuan jalur yang menuju puncak Gunung Gede (ke arah kiri) dan Gunung Pangrango (ke arah kanan). Selepas pertigaan pos Kandang Badak ini jalur yang harus dilalui menuju puncak Pangrango benar-benar menguras segalanya, karena sejak saat itu sudah tidak ada lagi yang namanya jalur landai, hampir seluruh jalur sangat curam, belum lagi ditambah dengan pohon-pohon tumbang yang menghalangi jalur pendakian. Nyaris perjalanan kali ini seperti latihan militer, menunduk dan loncat melewati pohon tumbang harus beberapa kali dilakukan, yang mengakibatkan pada terkurasnya stamina dan kambuhnya penyakit gagal dengkul :(. Namun dibalik semua beratnya medan, jalur menuju puncak Pangrango ini bisa dibilang cukup bersih keadaannya, berbeda jauh dengan jalur yang menuju puncak Gede, yang bertebaran sampah-sampah yang ditinggalkan para pendaki tak bertanggung jawab. Karena bisa dibilang jalur yang menuju Gunung Pangrango ini jarang sekali untuk didaki, menurut salah seorang petugas TNGGP yang berbincang-bincang sebelum melakukan perjalanan, jika kuota maksimum per harinya yang diizinkan mendaki Gunung Gede-Pangrango ini hanya 500 per orang nya (jalur cibodas 300 orang, gunung putri 100 orang dan salabintana 100 orang), namun yang hendak berkunjung ke puncak Pangrango dan alun-alun Mandalawangi hanya 5 sampai 10 orang saja dari kuota 500 orang tersebut, maka jangan heran dengan kondisi jalur pendakian yang cukup bersih. Menjelang puncak, pohon-pohon besar mulai berganti dengan tumbuhan-tumbuhan yang terlihat semakin rendah dan hanya ditumbuhi sejenis tanaman semak belukar yang tingginya sekitar 2-3 meter seperti tumbuhan Cantigi dan beberapa spesies tumbuhan unik dan menarik lainnya. Beberapa saat menjelang puncak jalur yang harus dilalui pun terbilang cukup enak karena sangat landai nyaris seperti trekking di dalam Mall. Allhamdulilah sekitar pukul 18.00 WIB kami semua pun akhirnya tiba dengan selamat tidak kekurangan suatu apapub di puncak Gunung Pangrango, itu berarti kami semua menghabiskan waktu kurang lebih 4 jam lamanya sejak dari pos terakhir yakni Pos Kandang Badak. Kondisi puncak Gunung Pangrango ini berbeda jauh dengan kebanyakan puncak-puncak gunung lainnya yang telah saya kunjungi, karena nyaris seluruh bagian puncak ini tertutupi pepohonan yang menjulang tinggi, hanya satu space kosong saja yang memperlihatkan puncak gunung Gede diseberang sana, namun sangat disayangkan kondisi pada saat itu langit sudah mulai menghitam dan pemandangan menuju puncak serta kawah Gunung Gede pun sudah terlihat samar-samar, belum lagi kondisi mata yang pada saat itu tidak memakai kacamata menambah halangan menyaksikan salah satu keagungan Tuhan diseberang sana.
Gunung Pangrango, jaga tempat mu baik-baik... tunggu saya datang kembali... menyapa mu... tersenyum pada mu…
Namun ada sebuah ke istimewaan
yang dimiliki puncak pangrango, yang tidak dimiliki puncak gunung manapun di
Negeri ini. Sebenarnya hanya sebuah patok yang terbuat dari semen setinggi
kurang lebih 1,5 M yang lazim dengan sebutan tiang trianggulasi, namun ada
sebuah cerita besar yang terjadi dengan patok semen sederhana tersebut, di
tahun 1967 seseorang besar yang pernah di lahirkan Nusantara ini Soe Hok Gie
pernah berkunjung ke sini dan berfoto di atas tugu triangulasi tersebut dengan
pose seperti orang yang sedang bertapa dan background teman-teman seperjuangan
nya dalam hal daki mendaki gunung. Selain itu pun sedikit turun ke bawah di
alun-alun Mandalawangi, dimana abu Soe Hok Gie disebar disana pada tahun 1975,
karena keputusan para penguasa saat itu Gubernur Ali Sadikin yang mengeluarkan
keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota untuk membongkar pemakaman Kober,
dimana jasad Soe Hok Gie dan ribuan yang lainnya tengah bersemayam dengan tenang
nya.
Setelah photo session dirasa cukup, kami pun segera melanjutkan perjalanan
menuju alun-alun Mandalawangi untuk sesegera mungkin mendirikan camp dan
beristirahat. Karena badan ini memang telah terposir habis-habis an selama satu
hari ini. Letak alun-alun Mandalawangi sendiri ternyata tidak begitu jauh dari
puncak Pangrango, hanya tinggal mengikuti jalur turun kebawah , waktu yang
ditempuh pun kurang lebih hanya sekitar 5 menit saja. Setelah menemukan sebuah
space yang dirasa cukup repersentatif di tengah-tengah padang edelwise, kami
semua pun segera mendirikan tenda. Ketika total 4 tenda sudah berdiri dengan
gagah nya, kami pun segera membagi tugas beberapa rekan mengambil air di sumber
mata air yang berada tidak jauh dari camp dan masih berada di kawasan alun-alun
Mandalawangi, sedangkan saya sendiri pada saat itu lebih memilih untuk memasak.
Ketika beberapa cemilan seperti pop corn
selesai dimasak dan minuman hangat wedang jahe yang masih dalam proses
pembuatan, tiba-tiba saja terdengar suara parau salah satu rekan Ega dari dalam
tenda Eiger Lightnes nya. Sedikit meninggalkan masakan saya pun mencoba untuk
keberadaan Ega di dalam tenda, ternyata pada saat itu Ega sedang menggigil
kedinginan sejadi-jadi nya meskipun tubuh nya pada saat itu sudah terbalut sleeping bag. Pelajaran pertama yang
saya pribadi pegang jika menemui kondisi seperti yakni jangan pernah untuk
bersikap panik. Langkah pertama saya pada saat itu yakni membantu Ega untuk
segera mengganti baju yang dikenakan dengan baju cadangan yang dibawa, setelah
itu dengan segera mungkin saya membuntel tubuh Ega dengan blanqket almunium.
Setelah dirasa cukup saya pun segera membalurkan Counterpain pada beberapa
bagian tubuh yang diminta sang empunya badan. Lambat laun tubuh Ega pun muai
membaik, sudah tidak menggigil parah seperti sebelumnya. Setelah kesadaran Ega
sudah mulai membaik saya pun segera menyuapi secara perlahan sayur sup yang
telah matang dibuat. Meskipun sayur sup yang masuk tidak terlalu banyak, tapi
tidak mengapa yang terpenting tubunhnya termasuki makanan dan tidak terlalu
kosong. Setelah diberi air putih saya pun segera memberikan air wedang jahe
racikan manual yang terbuat dari jahe yang dipeprek/dihancurkan secara halus,
dicampur dengan gula merah, sedikit kayu manis dan cengkeh. Ternyata efek
minuman hangat ini bisa dibilang cukup hebat, bahkan tubuh Ega pun mulai
membaik dan sudah mulai bisa duduk. Setelah sedikit menemani di dalam tenda
saya pun segera keluar tenda untuk melanjutkan memasak dan memberi kesempatan
Ega untuk segera beristirahat. Ternyata benar saja belum genap 5 menit saya
keluar dari tenda, suara mendengkur Ega terdengar sangat nyaring,
Allhamdulilah.
Setelah proses memasak dan
menghabiskan nya dirasa sangat cukup, secara perlahan satu persatu tim pun
meminta izin untuk memasuki tendanya masing-masing. Saya dan Gilang pada saat
itu pun menjadi kontestan terakhir yang tersisa, karena saya memang meminta
Gilang untuk menemani saya menghabiskan satu batang roko terakhir di malam itu
sambil sedikit beres-beres alat-alat yang memang akan dimasukan di dalam tenda
atau akan ditinggal diluaran saja. Setelah dirasa cukup kami pun segera
menyusul rekan-rekan lainnya yang telah di dalam peraduan mimpi nya
masing-masing. Namun baru saja mata ini tertutup, tiba-tiba saja terdengar
suara hewan yang sedang mengendus diluar tenda, bahkan sang hewan pun mulai
medekati tenda dan bergesekan dengan tenda hingga menimbulkan suara-suara
gesekan yang terdengar dengan sangat-sangat jelas. Sebenarnya jujur saja saya
sangat penasaran dengan sang sumber suara, namun rasanya kali ini rasa takut
ternyata melebihi rasa penasaran tersebut. Tanpa banyak kompromi saya pun
segera mengeluarkan MP3 player dari dalam saku jaket dan segera memasang
headseat pada kedua telinga. OPEN FILE -> MUSRIK -> POPSUCK ->
SUPERGRASS – ALLRIGHT.
![]() |
pintu masuk Taman Nasional Gunung Gede Pangrango |
![]() |
sebelum melakukan pendakian |
![]() |
Rawa Gayonggong dengan background Gunung Pangrango |
![]() |
istirahat di Pos Kandang Badak |
Minggu, 18 Juli 2011
Padang edelweiss terlihat sangat
begitu indah dengan sang bunga abadi yang sedang bermekaran, samar-samar
terdengar kicauan burung nan jauh disana seolah menyambut pagi yang sangat luar
biasa di alun-alun Mandalawangi ini. Belum lagi kabut yang seolah masih sangat
betah untuk meyelimuti dan seakan tidak ingin kalah oleh sinar mentari yang
lambat laun mulai meninggi. Diseberang sana puncak gunung Salak pun
memperlihatkan keangkuhannya, seolah tidak pernah peduli jika puncak Pangrango
memang lebih tinggi. Itulah suasana alun-alun Mandalawangi di pagi hari, memang
tidak semegah dan sebesar alun-alun Suryakencana di gunung sebelah, tapi
percayalah Mandalawangi tetap lebih menenangkan dan menyejukan hati. Jacket
yang telah terpasang rangkap 2 pun seolah seperti tanpa pengaruh, seolah udara
tidak ingin kalah oleh product buatan manusia. Tanpa rasa segan dan malu mereka
pun mulai memasuki celah-celah jacket dan secara perlahan menjamahi tubuh.
“Lagi ngapain lo wi………..”
tiba-tiba terdengar suara seseorang, berjarak kurang lebih 10 meter dari tempat
saya berdiri.
Refleks saya pun menoleh kearah
sumber suara , ternyata sang pemilik suara Gani sudah memperhatikan kelakuan
saya semenjak keluar dari tenda.
“Kagak….. lagi menikmati
Mandalawangi di pagi hari, keren banget yak!”
“Eh yang laen nya pada kemana
nih…..”
“Tuh lagi pada foto-foto di tugu
triangulasi “ jawab Gani
Belum sempat saya menjawab
kembali, ternyata para pasukan Power Rangers sudah tiba kembali dari ajang
photo session di puncak Pangrango. Bahkan photo session pun masih berlanjut,
kini mereka semua memilih alun-alun Mandalawangi sebagai lokasi pemotretan. Tentu
kali ini saya pun tidak mau ketinggalan tentu nya meskipun dengan wajah kucel
baru bangun tidur. Tanpa perintah saya pun segera kembali memasuki tenda untuk
mengambil camera DSLR Canon 450 D hasil pinjaman dari seorang teman. Tanpa
terasa berbagai gaya, sudut, lokasi dan model pun sudah memenuhi hampir
setengah memory camera. Mulai dari gaya loncat-loncatan sampe mencium sang
bunga abadi pun seolah menjadi gaya wajib kami semua secara bergantian. Selepas
photo session dirasa cukup saya pun mencoba memisahkan diri dari rombongan.
Hanya untuk sekedar menenagkan diri sambil menikmati karunia Tuhan yang sangat
luar biasa indah nya ini. MP3 player mungil pun mulai dikeluarkan kembali, kali
ini yang menjadi soundtrack agar suasana lebih terbawa, saya memilih lagu
Beautiful Day milik band legendaris U2, Suara khas milik sang superstar Bono
pun mulai sayup-sayup terdengar menemani saya yang mencoba kembali membaca
sebuah puisi milik Soe Hok Gie yang beliau buat saat mengunjungi alun-alun
Mandalawangi ini di tahun 1967 silam.
Mandalawangi Pangrango
Senja ini, ketika matahari turun
kedalam jurang-jurangmu
aku datang kembali
Kedalam rimbamu, dalam sepimu
dan dalam dinginmu
Walaupun setiap orang berbicara
tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta
dan keindahan
Dan aku terima kau dalam
keberadaanmu
seperti kau terima daku
Aku cinta padamu, Pangrango yang
dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian
tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah
kebisuan semesta
Malam itu ketika dingin dan
kebisuan menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang
kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian,
menghadapi yang tanda tanya”
Tanpa kita mengerti, tanpa kita
bisa menawar
Terimalah dan hadapilah
Dan diantara ransel-ransel
kosong dan api unggun yang membara aku terima ini semua
Melampaui batas-batas hutanmu,
melampaui batas-batas jurangmu
Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian
hidup
Ketika kulirik jam yang melingkar di tangan, ternyata sudah menunjukan
pukul 09.30 WIB. Saya pun kembali menuju kerumunan pasukan yang tengah masak
memasak dan mengakhiri session paling
menakjubkan di gunung, yakni sebuah perenungan hidup.
Sesi memasak pun saya mulai, menu
yang dipilih pagi ini yakni spaghetti dengan bumbu prego keju featuring sayur
sop dan puding segar sebagai makanan penutup. Tanpa terasa hampir 2 jam lamanya
kami habiskan untuk session memasak ini, padahal waktu untuk menghabiskan semua
makanan yang telah dibuat tidak lebih dari 15 menit saja hehehe….
Setelah dirasa cukup, kami semua
pun mulai bersih-bersih dan melakukan packing untuk persiapan turun. Pukul
13.00 WIB kami semua pun telah siap untuk perjalanan pulang dan dimulai dengan
melakukan doa bersama agar kami semua masih dalam perlindungan Nya dalam
perjalanan turun nanti. Saat itu udara di alun-alun Mandalawangi masih terasa
dingin, meskipun matahari sedang berada tepat diatas kepala. Namun udara hitam
yang mulai menggelayut seolah menghalangi sinar matahari yang akan menyinari
padang edelwise. Rasa takut akan turunnya hujan pun mulai memburu kami semua,
bukan apa-apa jalur yang harus kami lalui terbilang cukup curam, belum lagi jika
ditambah air akan mengakibatkan jalur yang dilalui semakin licin dan
memperbesar resiko terpeleset. Namun siang itu nampaknya Tuhan lagi-lagi sangat
baik pada kami semua, meskipun langit menghitam tetapi tidak ada satu pun tetes
air yang turun dari langit. Perlahan tapi pasti, dengan sangat hati-hati
akhirnya turunan demi turunan yang cukup curam pun berhasil kami lalui,
meskipun dengan terpeleset kecil beberapa kali. Pukul 15.00 WIB akhirnya kami
semua pun tiba di pertigaan Kandang Badak , sedari awal kami memang telah
berencana untuk istirahat disini untuk sekedar mengisi perut dan melakukan
shalat. Kesempatan ini pun tidak disia-siakan saya beserta rekan-rekan yang
lainnya untuk menikmati kenikmatan sebatang rokok. Lambat laun asap putih yang
bersumber dari mulut pun mulai menyatu dengan kabut putih yang mulai turun
tanpa mengenal kompromi. Setelah istirahat dirasa cukup, keril pun mulai
bertengger kembali dipunggung tanpa lupa memasang cover bag sebagai pelindung agar keril tetap terjaga
kebersihannya. Perjalanan turun memang tidak seberat ketika sedang naik, tapi
tetap saja hati-hati menjadi poin yang teramat sangat penting, karena resiko
tergelincir memang lebih besar pada saat turun. Pukul 16.40 WIB akhirnya kami
semua telah tiba dijalur Air Panas, sedari awal sebenarnya jalur air panas
inilah yang kami takutkan jika harus melewatinya pada saat matahari telah
menemui peradunannya. Selain gelapnya malam, licinnya jalur pun menjadi sebuah
momok yang menakutkan. Langkah demi langkah pun dilanjutkan kembali meskipun
rasa suntuk, capek dan letih mulai menggelayuti tubuh. Sinar matahari pun
lambat laun mulai melemah tergantikan langit yang mulai membiru kehitaman
menunggu malam tiba. Headlamp pun kembali kami keluarkan untuk menerangi jalur
yang harus kami lalui. Sekitar pukul 18.30 WIB kami semua pun akhirnya tiba di
Pos Panyangcang, yang senja menjelang malam itu dipenuhi para pendaki lainnya
yang tengah beristirahat. Kami semua pun seolah tidak ingin kalah oleh mereka
semua, beristirahat pun menjadi sebuah pilihan yang sangat sulit untuk
terelakkan. Beberapa bungkus Orea dan air mineral yang kami bawa dari alun-alun
Mandalawangi dan sebatang terakhir stock rokok pun menjadi teman beristirahat
di pos ini. Setelah istirahat dirasa cukup perjalanan turun pun dilanjutkan
kembali, namun kali ini perjalanan bisa dibilang sangat-sangat lambat. Karena
selain tubuh yang memang sudah sangat lelah, tiba-tiba saja penyakit gagal
dengkul pun kembali mendera. Langkah demi langkah pun harus diatur sedemikian
rupa agar kaki bagian kiri tidak sampai tertekuk. Karena jika sampai tertekuk
sedikit saja akan menimbulkan rasa nyeri yang terasa sampai seluruh tubuh.
Akhirnya pukul 20.00 WIB kami semua pun tiba juga di pintu gerbang TNGGP. Rasa
haru, bangga, senang, capek, letih, nyeri pun berkecambuk dalam diri menjadi
satu. Allhamdulillah…. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar