| Dwi Anugrah Mugia Utama | Bobotoh | Mountaineering | Vegetarian | Working Class | Partikel Bebas |

Senin, Desember 15, 2008

Saritem; Sebuah Nama Seribu Cerita

Saritem? Bagi penduduk Kota Bandung siapa yang tidak mengenal nama tempat ini? Seperti lazimnya kota-kota besar lain di Indonesia seperti Surabaya dengan Dolly nya, Yogyakarta dengan Sarkem nya, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia yang memiliki ‘objek wisata’ lokalisasi seperti ini. Keberadaan Saritem secara tidak langsung seperti sudah menjadi sebuah trademark Kota Bandung sendiri di mata masyarakat Indonesia. Mengapa bisa sampai terjadi demikian? Kita pun harus menilik kebelakang bagaimana tempat ini bisa sampai ada dan bertahan begitu lama nya.

Saritem awal nya didirikan oleh orang-orang Belanda dahulu yang tinggal di tanah Priangan ini sudah ada sekitar tahun 1838 yang berarti sudah 170 tahun keberadaan lokalisasi ini (wow sebuah angka yang sangat fantastis untuk sebuah tempat lokalisasi).

Dikisahkan, nama lokalisasi Saritem berasal dari nama gadis belia asal kota kembang Bandung bernama Saritem. Saritem memang berparas cantik dan berkulit putih. Pesona Saritem ternyata memikat seorang pembesar Belanda kala itu. Kemudian Saritem dijadikan gundiknya. Sejak saat itulah gadis Saritem menjadi ‘Nyonya Belanda’. Namanya pun berganti menjadi Nyi Saritem. Beberapa tahun kemudian Saritem disuruh Kompeni Belanda tersebut mencari wanita untuk dijadikan teman kencan serdadu Belanda yang masih lajang. Waktu itu daerah Gardujati dijadikan sebagai markas militer serdadu Belanda. Untuk kegiatan itu Saritem difasilitasi sebuah rumah yang lumayan besar. Lambat laun perempuan-perempuan yang dikumpulkan Saritem bertambah banyak. Saritem mengumpulkan perempuan-perempuan dari berbagai daerah dari Bandung dan sekitarnya, seperti Cianjur, Sumedang, Garut, dan Indramayu. Sejak itu nama Saritem mulai kesohor. Yang datang ke rumah yang dikelolanya pun bertambah banyak. Tidak hanya dari kalangan serdadu yang lajang. Serdadu yang lanjut usia pun juga berdatangan ke tempat Saritem. Bahkan beberapa warga pribumi ada juga yang datang. Hal ini membuat teman-teman Saritem yang juga menjadi gundik tentara Belanda tertarik membuka usaha serupa. Mereka rata-rata perempuan bekas binaan Saritem. Sejak perang kemerdekaan 1945 markas militer serdadu Belanda berhasil dikuasai pejuang Republik Indonesia. Namun, bisnis Saritem tidak tersentuh. Meski Saritem telah tiada toh tetap saja masyarakat mengenal lokasi itu dengan sebutan Saritem. Selanjutnya rumah-rumah penduduk pun berdiri di sekitar lokasi Saritem. Lokasi Saritem berada di tengah-tengah pemukiman penduduk. Inilah yang membuat warga kala itu tidak menggubris keberadaan lokalisasi Saritem. Pasalnya, lokalisasi itu telah berdiri lebih awal dibanding pemukiman warga. Bahkan kala itu banyak warga dari berbagai daerah membuka pemukiman di sekitar lokalisasi untuk mengais rupiah dari bisnis ala Saritem ini. Tidak hanya itu, banyak pula di antara warga yang akhirnya ikut-ikutan menjalankan profesi sebagai mucikari.

Tetapi yang jelas keberadaan Saritem selama kurun waktu 170 tahun itu memang selalu mengundang suara pro dan kontra dari berbagai kalangan. Memang penutupan Saritem tentu tak semudah membalikan telapak tangan. Kalangan eksekutif dan legislatif saja sudah terlibat polemik, apalagi di level akar rumput, khususnya bagi para PSK, mucikari dan ratusan orang yang ada di sekitar Saritem seperti pemilik warung, para calo dan tukang parkir yang dijamin tidak akan pernah setuju dengan penutupan tersebut.

Beragam argumentasi mengapa menutup lokalisasi seperti Saritem sangat susah sekali. Pertama - tama seperti yang telah diungkapkan diatas yaitu argumentasi sejarah. Sejarah prostitusi apalagi ini sudah sampai berumur ratusan tahun membuktikan bahwa lokalisasi seperti Saritem, tidak bisa dengan mudah dihapus dari sejarah. Yang kedua sendiri adalah alasan ekonomi. Menutup atau merelokasi lokalisasi apapun termasuk Saritem tanpa memecahkan masalah utama yakni kemiskinan ibarat menggarami lautan lepasalias akan sia-sia saja. Di belahan bumi manapun, bahkan dinegara-negara teokrasi sekalipun, prostitusi susah diberantas, karena memang akarnya adalah kemiskinan. Contoh kasus seperti yang dilakukan para PSK asal Irak yang terpaksa menjual diri di kota - kota besar seperti beirut dan damaskus, akibat tuntutan ekonomi sebagai dampak agresi AS di negara mereka.

Memang pemerintahan Kota Bandung saat ini berhasil menutup kembali Saritem, sebagai konsekuensi dari arah kebijakan visi Kota Bandung sebagai Kota yang ‘BERMARTABAT’. Tetapi ini lah yang ditakutkan jika yang menjadi masalah utamanya adalah argumentasi ekonomi. Kaburnya para mucikari dan PSK dari Saritem ini justru akan menimbulkan masalah baru yang akan lebih sulit diberantas. Para PSK yang notabenenya tidak memiliki kemampuan lain selain “menjajakan dagangannya”, maka akan menjajakan diri secara terselubung di hotel-hotel atau bahkanterang-terangan di jalanan. Penyebaran penyakit kelamin bahkan HIV/AIDS pun akan lebih susah dilokalisir. Sudah seharusnya Pemerintah Kota Bandung saat ini berfikir ulang terhadap kebijakan yang telah disosialisasikan kemudian mencari formulasi atau solusi yang lebih tepat sehingga keberadaan Saritem sebagai tempat lokalisasi tidak dianggap sebagai penyakit masyarakat atau sosial, jangan sampai hanya sekedar memberantas dan menghilangkan untuk seketika akan tetapi kebijakan ini malah mendatangkan masalah baru. Bukankah lebih arif dan bijaksana jika para PSK atau pun mantan Saritem diberdayakan, sehingga keberadaan mereka menjadi bagian inheren yang positif di dalam dimensi sosial masyarakat?

Riwayat Saritem di Kota Bandung memang telah berakhir. Tetapi belum tentu ini merupakan sebuah solusi terbaik untuk mengatasi masalah prostitusi di Kota Bandung. Jadi biarlah waktu yang akan menjawabnya nanti.

Oleh Dwi Anugrah Mugia Utama
(disadur dari berbagai sumber)

1 komentar: