| Dwi Anugrah Mugia Utama | Bobotoh | Mountaineering | Vegetarian | Working Class | Partikel Bebas |

Sabtu, Januari 01, 2011

Gunung Guntur Garut

Goenong Goentoer saat pertama kali didaki oleh Dr. Junghuhn   

Setelah satu bulan lebih tidak melakukan perjalanan, akhirnya dahaga untuk berpetualang di alam terpenuhi juga. Tanggal 21 Desember yang bertepatan dengan hari Ibu, saya dan  ke tiga orang teman Arfin, Ijal dan Ojan melakukan sebuah perjalanan ke salah satu Gunung yang  berada di wilayah Garut yakni Gunung Guntur. Gunung guntur sendiri memiliki ketinggian 2.249 Mdpl dan merupakan salah satu gunung api aktif yang berada di kabupaten Garut. Gunung ini pertama didaki oleh pendaki berkebangsaan  Jerman, Dr. Frans Wilhelm Junghuhn pada tahun 1837. Pada saat itu Junghun memasukkan gunung ini pada golongan gunung – gunung api paling aktif di Jawa. Sekedar informasi Dr. Junghuhn ini merupakan orang yang berhasil mengangkat nama Bandung “Parijs Van Java”, menjadi kesohor sebagai gudang penghasil bubuk kina yang terbesar di dunia. Unik nya gunung Guntur ini memiliki 2 mata air yang berbeda, yang satu mengalir pada daerah Cipanas yang kini menjadi objek wisata yang cukup banyak dikunjungi para wisatawan karena memiliki sumber mata air panas yang digunakan untuk ngeeum  alias berendam. Dan satu aliran air yang lainnya mengalir ke daerah Citiis, yang aneh nya air yang menuju daerah ini dingin berbeda 180 derajat dengan air yang mengair menuju daerah Cipanas.  Itupula mengapa daerah yang besebelahan ini memiliki dua nama yang bertolak belakang Citiis dan Cipanas.
Perjalanan kami berempat dimulai tepat pukul 2 siang, hujan yang menghujam kota Bandung siang itu tidak mengendurkan sedikit pun niat kami berempat untuk melakukan sebuah perjalanan. Perjalanan kami dimulai dengan menggunakan sebuah bus non AC tujuan Bandung-Garut di sebuah sudut daerah Cicalengka. Sekedar informasi tarif bus ini Rp.10.000 jika menaikinya sejak dari terminal Cicaheum Bandung, sedangkan bila memulainya dari Cicalengka/Rancaekek tarif bus ini hanya Rp.7.500. Untuk menuju gunung Guntur jika belum mengetahui tempat nya cukup bilang kepada supir/kernet bus untuk diturunkan di daerah Citiis Garut. Namun untuk jaga-jaga jika si supir/kernet tidak hafal dengan daerah ini, saya akan memberikan sebuah patokan pada foto dibawah ini. Yakni sebuah gapura yang bertuliskan Selamat Datang di Kabupaten Garut yang terletak di daerah di jalan Leles Garut, cukup berhenti saja disitu dan jalan beberapa meter  menuju sebuah jalan yang lumayan besar sebelah kanan jalan tepat disebelah sebuah restoran.  Untuk mengirit tenaga menuju daerah Citiis kita bisa ngadogar alias nebeng truk-truk pengangkut pasir yang banyak melewati jalur ini. Setelah kurang lebih 15 menit terombang ambing di atas sebuah truk yang sehari-harinya digunakan untuk mengangkut pasir, kita akan menemukan  sebuah tugu yang menjulang tinggi ber warna putih mirip dengan monas di Ibukota Jakarta ditengah-tengah tambang pasir.  Menurut warga sekitar, dahulu tepat di daerah tugu ini merupakan tempat pelatihan jaman kolonial Belanda. Disekitar tugu ini ada beberapa bangunan yang digunakan untuk pelatihan, namun untuk saat ini jangan harap menemukan sisa-sisa bangunan bersejarah tersebut. Seluruh bangunan bersejarah ini dihancurkan demi eksploitasi para penambang pasir, bahkan yang lebih memprihatinkan nasib tugu bersejarah ini pun nyaris tidak berbentuk, karena tanah di sekitar tugu ini raib dikeruk untuk keuntungan para pengembang. Raib lah sudah satu lagi bangunan bersejarah di Negeri ini oleh sebuah Bangsa yang tidak pernah menghargai sejarah.



Kembali pada perjalanan kami, setelah berhasil menemukan tugu ini sebagai acuan. Menurut beberapa artikel yang saya dapatkan dari internet sebelum melakukan perjalanan ini, kita harus meminta izin kepada ketua RW setempat jika  ingin melakukan pendakian menuju Gunung Guntur ini. Setelah bertanya pada seseorang di perjalanan, akhirnya kita berhasil menemukan rumah ketua RW  Ibu Tati, kita berempat disambut dengan hangat nya oleh keluarga ibu Tati, bahkan kita menghabiskan waktu yang cukup lama untuk sekedar mengobrol-ngobrol dengan keluarga ibu Tati dari mulai sejarah gunung Guntur ini sampai joke-joke kecil yang menghangatkan suasana. Oh iya, jika membutuhkan sesuatu untuk pendakian ke atas, kita juga bisa mendapatkan nya di warung kecil yang bersebelah dengan rumah. Karena rumah dan warung milik bu Tati ini merupakan rumah terakhir yang berada di desa Citiis, karena selebihnya keatas merupakan daerah penambangan pasir.



Tepat pukul 5 sore kita berempat telah siap melakukan perjalanan menuju Gunung Guntur, setelah melakukan packing ulang di rumah Ibu Tati dan membereskan proses pendataan. Setengah jam perjalanan pertama dimulai dengan menyusuri daerah penambangan pasir yang gersang dan berdebu, setengah jam perjalanan berikutnya kita lalui dengan menyusuri sungai dengan tujuan pos kita berikutnya yakni Curug Citiis. Sebenarnya dahulu curug ini merupakan curug ke dua dari bawah, karena dahulu terdapat sebuah curug yang berdekatan dengan pemukiman warga desa Citiis, namun curug itu kini telah tiada digerus oleh para penambang pasir yang tidak bertanggung jawab. Perjalanan menuju curug ini sebenarnya bisa dilakukan dengan melewati daerah penambang pasir, namun pada saat itu kami lebih memilih untuk menyusuri sungai untuk melakukan perjalanan demi sebuah sensasi perjalanan yang lebih beragam. Setelah kurang lebih satu jam perjalanan akhirnya kita sampai juga di curug Citiis, tepat di depan curug terdapat sebuah shelter/pos kecil untuk istirahat. Kami pun melakukan acara masak memasak di dalam shelter ini, karena memang perut kami berempat meminta jatah untuk diisi. Sedikit informasi jika ingin bermalam dan mendirikan tenda diusahakan jangan di sekitaran curug ini, karena sudah beberapa kali terjadi kasus kehilangan barang-barang berharga milik para pengunjung seperti camera, hp, dan dompet. Bahkan pernah terjadi beberapa kasus yang sangat parah dan mustahil di alam bebas seperti di daerah curug ini yakni perampokan dan pemerkosaan terhadap beberapa pendaki wanita. Entah mengapa masih saja ada orang ber hati busuk dan ber otak setengah di alam bebas seperti ini. Menurut para warga asli desa Citiis yang telah bermukim secara turun temurun, sebenarnya kasus-kasus seperti ini baru terjadi beberapa tahun kebelakang saja. Mereka pun merasa aneh dan sangat geram, mereka pun ingin keadaan desa mereka asri dan aman seperti dahulu.  Tapi apakah ada pihak yang berwenang, yang mau mengurusi  hal seperti ini, yang tentunya jauh dari kata menguntungkan bagi mereka. “Geus alam ruksak… Lingkungan ge jadi teu aman… Dasar belegug!”.




Setelah melakukan ritual makan malam selama hampir satu jam, akhirnya kami ber empat pun siap untuk melakukan perjalanan kembali.  Oh iya… sebaiknya membawa air sebanyak mungkin disini, karena dalam perjalanan berikutnya akan sulit menemukan aliran air kembali.  Karena posisi kita akan semakin ke atas dan aliran sungai berada di bawah.  Selepas curug, medan yang dilalui benar-benar menguras tenaga. Tanjakan terjal dan berbatu besar menjadi santapan yang mau tidak mau harus dihabiskan kami ber empat malam itu. Perjalanan pun harus dilakukan ekstra hati-hati karena selain medan yang terjal, gelap nya malam dan hujan yang mengguyur malam itu pun membuat langkah kami semakin berat. Sebaiknya pada saat melakukan perjalanan disini menggunakan sepatu, sarung tangan, celana panjang dan baju panjang. Karena untuk melindungi kulit dari semak-semak setinggi orang dewasa, namun semak ini pun bisa digunakan untuk pegangan saat pendakian, maka dari itu inilah fungsi nya sarung tangan agar kulit tangan terlindungi dari semak belukar yang terkadang tajam saat menjadi tumpuan. Usahakan posisi dan suara aliran sungai tetap di sebelah kanan kita, karena ini merupakan sebuah patokan para pendaki yang biasanya melakukan perjalanan menuju gunung Guntur ini.  Setelah menghabiskan 2 jam perjalanan dengan trek yang begitu menguras tenaga, akhirnya kami sampai di sebuah tempat yang lazim orang-orang sebut dengan puncak bayangan. Patokan nya yakni sebuah batu berukuran sangat besar di sebelah kanan dan beberapa pohon di sebelah kirinya. Kami pun memutuskan untuk mendirikan camp disini, karena lebih memilih melanjutkan perjalanan besok pagi. Dari posisi ini kita bisa menikmati keindahan malam kota Garut dari ketinggian. Setelah tenda didirikan dan membuat beberapa jemuran dadakan untuk pakaian kami yang digerus hujan secara terus menerus selama perjalanan. Ternyata ada saja cobaan malam itu, barang yang paling vital bagi kami tas yang berisikan rokok, kopi, susu dan beberapa logistik raib entah kemana. Akkkhhhhhh………. ternyata setelah diingat-ingat tas plastik tersebut jatuh disekitaran aliran sungai pada saat menuju curug pada saat salah satu dari kami mengambil jacket di ransel yang dibawa. “Ya sudah lah mau bagaimana lagi, masa harus balik lagi ke bawah…. Isuk deui ah!”. Malam itu pun kita hanya ditemani 2 gelas susu coklat panas dan sebungkus rokok yang secara kebetulan berpisah dengan rombongan teman-teman nya.


Tepat pukul 5 subuh kami terbangun karena udara dingin yang menyusup dari celah-celah tenda dan membuat kami menggigil dibalik jacket tebal yang kami pakai. Wow, ternyata suasana di luar tenda begitu menggoda, bulan yang secara utuh siap-siap untuk meninggalkan kami tepat di belakang tenda dan siap digantikan matahari yang masih malu-malu menampakan diri nya tepat dibalik gunung Papandayan di depan kami. Belum lagi awan yang berjejer dan bergerak secara perlahan nyaris di hadapan kami. “Subhannallah… hatur nuhun Gusti Pangeran, sae pisan!”.  Kami pun tidak akan melewatkan moment special seperti ini begitu saja, photo session pun dimulai meskipun tanpa cuci muka sama sekali hehehe…. Setelah puas berfoto ria, kami berempat langsung packing membereskan tenda untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung Guntur, tanpa lupa sarapan pagi terlebih dahulu untuk memulihkan stamina.




Detik - detik menjelang sunrise di Gunung Guntur
Perjalanan pun dimulai, ternyata medan yang kita lalui pagi ini lebih ekstreme dibandingkan medan semalam yang kami lewati. Dengan sudut kemiringan hampir 60 derajat ditambah jalan yang berpasir  dan berkerikil membuat kami beberapa kembali tergelincir. Semak belukar di sepanjang perjalanan pun menjadi senjata ampuh untuk menahan diri disetiap langkah. Mungkin yang membuat saya dan rekan-rekan sedikit kecewa, langit pagi menjelang siang itu nyaris tertutup embun dan awan yang silih berganti menutupi pemandangan kota Garut di belakang kami dan sinar matahari yang seolah enggan untuk menyapa kami. Dan gagalah rencana untuk berfoto ria dari tempat yang memiliki pemandangan maha indah ini. Kurang lebih 3 jam perjalanan kami habiskan menuju puncak pertama Gunung Guntur, namun sangat disayangkan cuaca pun tidak berubah sama sekali tetap sama seperti saat melakukan perjalanan. Hanya dari kejauhan sesekali puncak gunung Cikurai yang berdiri dengan gagahnya menyambut pandangan mata kami, karena memang ketinggian gunung Cikurai merupakan yang tertinggi di kawasan pegunungan di wilayah Garut.  Sampai di pucak pertama gunung Guntur sekitar jam 12 siang, ternyata diluar dugaan persediaan air yang kami bawa, hanya tersisa setengah botol air mineral ukuran besar 1500 ml. Persediaan makanan yang kami bawa pun hanya tersisa 3 bungkus mie instant saja, dan itupun kami habiskan di puncak pertama gunung Guntur ini.



Setelah sepakat dan demi kebaikan bersama akhirnya perjalanan kami di gunung Guntur ini hanya sampai puncak pertama saja. Sebenarnya di puncak pertama ini bisa mendirikan camp namun harus di pastikan patok tenda kita terpasang dengan kuat, karena dikhawatirkan akan ada  angin besar yang sewaktu – waktu bisa datang. Karena kawah gunung Guntur berada tepat di sebelah kiri. Namun persediaan makanan dan air kami, nampaknya tidak memungkinkan kami untuk melanjutkan perjalanan atau mendirikan camp di puncak pertama ini.  Setelah sedikit berfoto ria meskipun tertutup kabut dan awan  kami pun memutuskan untuk kembali ke bawah. Padahal menurut beberapa cerita perjalanan yang pernah baca maupun menurut warga sekitar di desa Citiis, dari puncak pertama ini bisa melihat pemandangan seluruh kota Garut, kumuh nya pengerukan pasir dikaki gunung, areal pemukiman, persawahan, komplek pemandian Cipanas, bahkan Situ Bagendit pun bisa terlihat dengan jelas. Ya sudahlah… insya Allah jika masih diberi umur dan diberikan kesempatan untuk berkunjung kembali ke gunung Guntur ini, kami akan mencoba berusaha se maksimal mungkin sampai di puncak ketiga, yang merupakan puncak tertinggi di kawasan gunung Guntur ini.  Namun saya selalu mengkhawatirkan rusak nya kaki gunung Guntur akibat pengerukan pasir yang berlebihan seperti saat ini, suatu saat bisa sampai atas. Bahkan bencana yang bisa diakibatkan pun bukan hanya sekedar wacana saja, hal ini pernah terjadi di pertengahan bulan Maret 2010 lalu, dimana banjir lumpur setinggi sekitar 1 meter menggenangi Desa Tanjungkarya, Kecamatan Samarang, pemukiman yang berada di kaki Gunung Guntur. Korban longsor yang terjadi di Desa Tanjungkarya tersebut, membuat 20 keluarga yang terdiri dari sekitar 350 jiwa mengungsi di rumah-rumah saudara mereka karena rumah mereka diterjang longsoran tanah. Bagaimana jika longsoran tersebut dalam sekala besar?  mungkin bukan hanya satu desa saja yang akan terkena dampaknya. Bayangkan di kaki gunung Guntur ini ada salah satu objek wisata pemandian air panas Cipanas Garut yang setiap hari nya dikunjungi ratusan bahkan ribuan pengunjung bila akhir pekan tiba. Ayo dong Bapak-bapak yang terhormat yang mempunyai kuasa di wilayah Kabupaten Garut tolong dijaga alam yang berada di wilayah Bapak. Tentu kita tidak mau jika kelak anak-cucu kita hanya menerima akibat dari hancur nya alam ini, tanpa pernah merasakan keindahan nya. STOP EKSPLOITASI PASIR DI KAKI GUNUNG GUNTUR SEKARANG JUGA!

Gunung Guntur, jaga tempat mu baik-baik... tunggu saya datang kembali... menyapa mu... tersenyum pada mu…

2 komentar:

  1. eli indah suryani15 April 2011 pukul 06.18

    ITS SO MAGIC ia aa dwi,.kapan kalii ia bisa kesana,.
    tulisan yang menarik,.
    happy brthday juga ia kka

    BalasHapus