| Dwi Anugrah Mugia Utama | Bobotoh | Mountaineering | Vegetarian | Working Class | Partikel Bebas |

Rabu, Februari 23, 2011

Gunung Cikuray Garut


foto: istimewa
Perjalanan kali ini bisa dikatakan sangat mendadak, bagaimana tidak ajakan rekan – rekan untuk berpetualang di alam terbuka kali ini hanya satu hari saja sebelum hari H pemberangkatan. Prepair logistik nampaknya tidak begitu menjadi sebuah kendala, karena memang biasanya saya sudah menyimpan semua peralatan berpetualang di dalam carrier kesayangan. Mulai dari sleeping bag, head lamp sampai parafin pun sudah tersusun rapih, mungkin hanya tinggal masalah mental saja yang terkadang siap dan belum siap. Tapi cita – cita diri yang begitu menggebu ingin mengunjungi seluruh puncak gunung yang ada di wilayah Jawa Barat pun seakan menjadi pelecut semangat tersendiri, apalagi gunung yang akan saya dan rekan – rekan kunjungi kali ini merupakan gunung tertinggi di wilayah Priangan timur dan juga merupakan gunung tertinggi keempat di Jawa Barat setelah Gunung Gede dengan ketinggian 2.821 Mdpl, Gunung Cikuray.
Pada awal nya perjalanan kali ini hanya akan dilakukan 4 orang saja itu pun sudah termasuk saya, namun beberapa jam sebelum pemberangkatan ternyata menarik hati beberapa rekan yang lain nya, hingga akhirnya mendapatkan beberapa personil dadakan hingga mencapai satu tim inti kesebelasan sepakbola alias 11 orang. Jadwal pemberangkatan yang semula di agenda kan setelah menyelesaikan Shalat Jumat pun mau tidak mau harus berdampak molor jauh hingga pukul 5 sore. Prepair logistik dan makanan yang semula hanya untuk 4 orang pun, otomatis harus di setting ulang.
Perjalanan dimulai tepat pukul 5 sore di salah satu sudut rumah kos - kos an di wilayah kampus Widyatama. Tim pun harus terbagi dua, satu tim menggunakan motor dan satu tim yang lainnya menggunakan kendaraan umum untuk mencapai tujuan pertama yakni kota Garut. Saya yang awal nya berencana menggunakan motor, harus berfikir ulang karena baru saja mencapai daerah Cileunyi, motor kesayangan ‘si shogun hijau keluaran tahun 1997’ pun nampak sangat tidak berdaya kali ini. Oh ya saya baru ingat, terakhir kali saya service dan mengganti oli mesin ternyata sudah 3 bulan yang lalu. Belum lagi berat nya carrier yang saya pikul di pundak menjadi kendala tersendiri. Setelah berfikir, lebih baik motor saya titipkan saja di rumah salah seorang teman yang berdomisili di daerah Cileunyi. Allhamdulilah untung saja teman saya sedang berada di rumah, jika tidak ada mau tidak mau mungkin saya harus memaksakan diri menggunakan ‘si shogun hijau’ dengan keadaan sangat memaksakan ke kota Garut. Setelah mengabari teman yang menggunakan kendaran umum tentang keadaan saya dan memutuskan untuk bergabung dengan mereka. Saya pun harus menunggu bus yang mereka tumpangi di salah satu sudut di wilayah Cileunyi yang begitu ramai. Para calo nampak tanpa lelah dan putus asa menawarkan jasa untuk saya menaiki beberapa bus dan elf yang sedang ngetem dengan sangat tidak rapih nya.
Setelah menunggu kurang lebih setengah jam, akhirnya bus yang saya tunggu datang juga. Bus ¾ warna putih dengan polet kuning hijau seakan menjadi sesuatu yang saya nantikan, ternyata ongkos bus tersebut bisa dibilang cukup murah, hanya 10 ribu saja sampai tujuan akhir bus tersebut yakni terminal Guntur di kota Garut. Tanpa terasa 2 jam lama nya saya habiskan dalam perjalanan kali ini, jam di tangan tepat menunjukan pukul 9 malam ketika pertama kali saya beserta rekan – rekan menginjakan kaki di terminal Guntur Garut ini. Setelah sedikit berdiskusi akhirnya kita memutuskan untuk makan dulu di warung yang bertebaran di wilayah terminal Guntur ini. Akhirnya sebuah warung yang menyediakan ayam goreng sebagai menu utama nya pun menjadi tujuan kami, dengan sedikit terpaksa saya pun hanya memesan tahu featuring tempe saja, karena di warung tersebut memang hanya menyediakan ayam goreng/bakar saja tanpa jenis makanan yang lain nya, nasib seorang vegan. Setelah menyelesaikan urusan pembayaran dengan si ibu warung, kami memutuskan untuk segera meninggalkan terminal Guntur karena memang perjalanan kami masih begitu jauh menuju tempat tujuan. Setelah sedikit bekeliling di terminal, nampak nya angkutan umum/angkot yang akan kami tumpangi sudah tidak ada. Kita lupa, ini bukan Bandung mau pulang jam berapa pun, angkot masih bisa didapatkan tapi saat ini kita berada di kota Garut, yang menurut orang – orang jika sudah diatas pukul 10 malam mustahil bisa menemukan angkot yang masih bisa beroprasi menyusuri trayek nya. Beberapa kali mobil omprengan pun menawarkan jasa, tetapi harga yang mereka tawarkan sangat tidak masuk akal, bagaimana tidak ongkos yang dibebankan kepada kita mencapai 15 sampai 20 ribu per orang nya, padahal jika menggunakan angkot tarif nya hanya 2 ribu saja sampai tujuan. Layaknya para pengembara di film – film Hollywood, kami hanya duduk sampai tiduran di pinggiran jalan dengan carrier yang nampak seperti kulkas 2 pintu sebagai pemanis. Tanpa diduga akhirnya datang sebuah bus besar antar kota yang melintas.
Cilawu a….” teriak seorang teman
Sok naek…..” timpal sang kondektur bus
Kita baru ingat daerah Cilawu yang menjadi tujuan kita, memang wilayah yang dilalui bus – bus antar kota yang hendak menuju daerah Singaparna. Ternyata ongkos bus full AC ini pun hanya 5 ribu saja sampai daerah tujuan, tentu saja jauh berbeda dengan jasa yang ditawarkan para supir mobil omprengan. Sampai di wilayah tujuan jam di tangan tepat menunjukan pukul 11 malam,  kami pun meminta teman – teman yang memakai motor untuk menjemput kami di pinggiran jalan. 15 menit lamanya kami habiskan di atas motor dengan jalur yang luar biasa jelek nya menuju sebuah Pos. Selain menyerahkan beberapa fotocopy KTP dan mengisi data kami pun harus membayar biaya administrasi 2 ribu per orang nya. Ternyata tempat yang menjadi tujuan kami berikutnya sekaligus tempat tujuan camp pertama kami stasiun pemancar TV sangat jauh dari pos pertama, sekitar 9 KM. Wow…
Mau tidak mau tim pun harus kembali terbagi 2, kali ini saya memilih untuk bergabung dengan tim yang membawa motor, karena memang dari awal nya kami berencana menyimpan motor di salah satu gedung pemancar seluruh stasiun TV di atas. Kurang lebih satu jam lama nya kami habiskan waktu di atas motor, jalur yang kami lalui nampak bukan trek pada umum nya, tapi lebih cocok untuk kendaraan jenis trail. “Untung s shogun hejo teu jadi dibawa… mun dibawa yakin turun mesin”. Namun jalur yang dilalui lama kelamaan nampak tidak beres, yang awalnya jalan bebatuan berukuran satu mobil berubah semakin kecil dan hanya cukup untuk satu motor saja. Dan lampu kelap kelip dari tower pemancar pun nampak semakin jauh dari pandangan mata. Salah jalan… Damn!
stasiun pemancar TV di kaki Gunung Cikuray
Setelah sepakat, kita memilih untuk kembali ke bawah, karena jalanan di depan memang sudah tidak layak untuk dilalui kendaraan bermotor. Baru 10 menit saja kami menyusuri jalanan untuk kembali ke bawah, ternyata nasib berkata lain. Motor yang saya tumpangi ban nya bocor, innalilahi wainailahi rajiun… Akhirnya kami sepakat kembali membagi 2 tim, 3 orang langsung menuju tower TV di atas dengan mengendarai motor dan 3 orang yang lain nya menuntun motor sampai pos pertama di bawah dan menyimpan motor di sana. Karena motor yang saya tumpangi yang bocor, mau tidak mau saya pun kebagian menjadi tim yang harus kembali lagi ke bawah. Jika kejadian bocor ban seperti ini di tengah kota sih tidak begitu masalah mau jam berapa pun juga, karena pasti banyak tukang tambal ban yang buka 24 jam. Nah ini ditengah – tengah kebun teh di kaki gunung, jangan kan ada tukang tambal ban yang buka 24 jam, nemu ada tukang tambal ban juga sudah mustahil.
Sekitar pukul 2 malam, kami mulai menuntun motor sedikit demi sedikit menyusuri perkebunan teh di kaki gunung Cikuray. Namun untung nya cuaca malam tersebut sangat luar biasa bersahabat, senter pun nyaris tidak berfungsi sama sekali karena langit memang sangat cerah malam itu. Sekitar pukul 4 subuh akhirnya kami pun berhasil kembali di pos pertama. Kami bertiga pun telah sepakat untuk tidak langsung kembali keatas dan memilih untuk tidur dulu meskipun hanya sebentar untuk memulihkan sedikit tenaga di pelataran pos. Tanpa komando saya pun segera mengeluarkan sleeping bag, yang merupakan sebuah senjata andalan jika akan tidur dalam keadaan seperti ini.
Bangun woy… jam 6” suara sumbang salah seorang teman membuyarkan alam bawah sadar
“Damn…” padahal baru 2 jam doang badan ini isitirahat!
“Wuuusssshhhhhh….” Angin besar khas daerah pegunungan berhembus begitu besar saat badan keluar dari lindungan sleeping bag. Andai hal ini terjadi di kamar, mungkin saya akan  marah besar atau bahkan ngajak berkelahi sekalian pada yang membangunkan dalam kondisi seperti ini hehehe.
Sedikit cuci muka dan meminum air putih, kami pun mulai menyusuri jalan yang sudah tidak asing lagi, karena tadi malam kami melewati jalan ini naik turun. Setelah satu jam perjalanan pertama menyusuri perkebunan teh, kami menemukan sebuah pohon besar di pinggiran jalan yang tertempel sebuah petunjuk tepat di sebuah persimpang jalan. Ternyata jalan yang kami tempuh semalam memang bukan jalan menuju tower pemancar melainkan jalan menuju sebuah pemukiman warga. Karena jika ingin menuju tower kita harus mengambil jalan ke arah lurus sedangkan kami semalam mengambil jalan ke arah kanan jalan. Satu jam berikutnya kami lebih memilih untuk memotong jalan menyusuri perkebunan teh, karena jika mengikuti jalan pasti akan lebih memutar lagipula jika berjalan di pagi hari seperti ini jalanan pasti akan terlihat jelas termasuk tower pemancar di kejauhan. Akhirnya kami sampai juga di tower pemancar sekitar pukul 8 pagi, itu berarti kami bertiga menghabiskan waktu 2 jam, hemat 1 jam dari waktu normal jika jalan menyusuri jalanan untuk kendaraan bermotor.
menyusuri perkebunan teh di kaki Gunung Cikuray
Setelah menyelesaikan packing terakhir dan sarapan yang di rapel dengan makan siang, tepat pukul 12 kami memulai perjalanan menuju puncak Gunung Cikuray. Oh ya, kami sangat berterima kasih yang sebesar – besar nya untuk pegawai transmisi pemancar TPI dan ANTV yang telah mengizinkan kami menitipkan motor dan mengambil air di kamar mandi stasiun transmisi pemancar mereka. Bagi kantor transmisi TV yang lain nya jangan pelit atuh, apalagi transmisi Indosiar jangan kan untuk menitipkan motor, pada saat kami mengisi air pun secara tiba – tiba kran air nya mati, ya entah itu disengaja atau tidak, hanya mereka dan Tuhan yang mengetahuinya.  Padahal kantor transmisi mereka yang terbesar dan termegah dibandingkan stasiun transmisi TV yang lain nya. Kembali pada perjalanan, trek awal yang kami lalui yakni jalanan menyusuri perkebununan teh tepat di sebelah kiri komplek pemancar TV. Ternyata terik nya sinar matahari siang itu membuat stamina kami drop pada perjalanan pertama. Kurang lebih satu jam lama nya kami menyusuri perkebunan teh sebelum memasuki kawasan hutan yang rimbun akan pepohonan. Selepas memasuki wilayah hutan, ternyata udara nya begitu sejuk, panas nya sinar matahari pun seolah tidak mempan memasuki wilayah hutan, hanya sinar – sinar kecil saja yang bisa tembus sampai tanah di tengan hutan. Perjalanan kami kali ini bisa dibilang sangat lambat bagaimana tidak sampai pukul 5 sore kami belum mencapai setengah perjalanan pun. Sekali kami melakukan break pun bisa sampai menghabiskan waktu 1 jam lama nya, ya bagaimana lagi keutuhan tim yang paling utama jika melakukan perjalanan seperti ini. Bahkan pukul 4 sore kami sempat memasak mie instant di tengah – tengah perjalanan, saya sendiri pun tanpa terasa tertidur ketika rekan – rekan yang lain nya sedang memasak mie instant. Setelah sedikit mengisi perut dengan mie instant, kami pun melanjutkan perjalanan menuju puncak tepat pukul 6 sore menjelang maghrib. Selepas maghrib ini baru terasa perjalanan yang sesungguhnya, karena bisa dibilang kami tidak lagi beristirahat sampai berjam – jam lamanya seperti pada saat siang hari. Mungkin inilah keunggulan perjalanan di malam hari, kita tidak pernah tau dengan jelas seperti apa medan yang akan dihadapi di depan. Tepat pukul setengah 9 malam kami akhirnya sampai di puncak bayangan, sebenarnya saya pribadi dan beberapa rekan yang lainnya masih kuat jika harus melanjutkan menuju puncak utama. Tetapi sebagian yang lainnya sudah terang – terangan menyerah dan sudah tidak sanggup melanjutkan perjalanan, bahkan sebagian sudah bersiap akan melakukan camp di puncak bayangan ini. Setelah sedikit berdiskusi, akhirnya kami semua memutuskan akan bermalam saja di puncak bayangan ini, dan akan melanjutkan menuju puncak utama pada subuh. Itu pun dengan catatan bagi hanya yang mau saja. Padahal dari beberapa blog yang sempat saya baca, perjalanan dari puncak bayangan ke puncak utama ini hanya menghabiskan waktu kurang lebih dua jam saja dan bila dihitung secara ketinggian pun, puncak bayangan ini sudah berada dalam ketinggian sekitar 2600 Mdpl, bila dihitung selisihnya hanya kurang lebih 200 Meter saja dari puncak utama yang memiliki ketingggian 2.821 Mdpl. Bahkan puncak utama pun sudah terlihat dengan sangat jelas dari puncak bayangan ini. Puncak bayangan sendiri bentuknya nyaris seperti puncak Gunung Manglayang, tanah lapang yang lumayan besar yang bisa menampung hingga belasan tenda namun dipenuhi pepohonan di sekitar nya, sehingga tidak memiliki view untuk menikmati keindahan kota Garut dari ketinggian. Selepas makan malam dan mendirikan camp, tanpa komando kami pun satu persatu mulai memasuki 3 buah tenda yang berjejer yang bisa melindungi kami dari besar nya terpaan angin yang berhembus di puncak bayangan Gunung Cikuray ini.
“Bangun… bangun… jam 7…” suara yang tidak begitu asing di luar tenda
“Akkkkhhhhhh……” gagal lah sudah harapan mengunjungi puncak Cikuray kali ini, karena jam sudah menunjukan jam 7 pagi. Tidak mungkin bagi saya untuk ke puncak karena terlalu asik nya saya dan rekan – rekan lainnya nilepan panon.

photo seasons di tengah leweung (penyakit narsis nan kronis)
Setengah memendam kekecewaan saya pun mau tidak mau harus menerima jika dalam perjalanan saya kali ini tidak sampai puncak utama, karena jika saya dan yang lain nya memaksakan diri menuju puncak saat itu ditakutkan kita semuanya akan kemalaman di jalan pada saat perjalanan pulang menuju Bandung, karena pada hari senin nya sebagian besar harus kembali menjalankan rutinitas mereka sehari – hari. Insya Allah jika masih diberi umur saya akan kembali mengunjungi Gunung Cikuray dan menginjakan kaki di puncak gunung tertinggi di wilayah Priangan timur ini, i hope
Gunung Cikuray, jaga tempat mu baik-baik... tunggu saya datang kembali... menyapa mu... tersenyum pada mu…

3 komentar:

  1. nu dipotona tim carrier hungkul...tim ngesot te kapoto...haha

    BalasHapus
  2. bulan hareup mun jdi uka ka cikuray deui....bilih bade ngiring.....

    BalasHapus
  3. Ready.... kabar - kabari saja, insya Allah bergabung kembali. Wajib sampai negeri di atas awan ah nanti mah :)

    BalasHapus