| Dwi Anugrah Mugia Utama | Bobotoh | Mountaineering | Vegetarian | Working Class | Partikel Bebas |

Sabtu, Juni 11, 2011

Gunung Gede Cianjur

photo seasons at alun-alun Suryakencana
Akhirnya kesampaian juga saya menginjakan kaki di puncak gunung paling poluler di wilayah Jawa Barat, Gunung Gede. Sebenarnya perjalanan kali ini bisa disebut sebagai ajang pemanasan sebelum kami dari komunitas penikmat alam warna warni akan mencoba menaklukan daratan tertinggi di pulau Jawa, puncak Mahameru. Yang rencana nya akan dilakukan 1 minggu selepas trip Gunung Gede ini.
Perjalanan dimulai dari kota Bandung tercinta pada hari Jumat 20 Mei 2011, bersama kedua rekan saya kang Firman dan kang Bolot. Sedangkan rombongan lainnya yang berasal dari daerah Jakarta, Tangerang dan sekitarnya telah sepakat untuk berjanjian di dekat jembatan penyebrangan pasar Cipanas sekitar pukul 01.00 WIB. Setelah kurang lebih 2 jam badan ini terombang ambing didalam bus “Doa Ibu” yang lebih mujarab dari Doa SBY, akhirnya kami bertiga pun tiba juga ditempat meeting point tanpa lupa membayar ongkos 15 ribu pada sang kondektur tentunya. Setibanya kami sampai di sekitaran jembatan penyebrangan pasar Cipanas, ternyata rombongan dari Jakarta dan sekitarnya sudah sampai terlebih dahulu. Perjalanan pun langsung dilanjutkan kembali dengan menggunakan angkot carteran yang sudah tuntas masalah nego menego oleh sang ketua rombongan yang baik hati Pak Rudi a.k.a. abumusyaffa hehehe. Oh iya harga kesepakatan antara kedua belah pihak saat itu yakni Rp.60.000/angkot nya. Kurang lebih setengah jam lamanya kami menghabiskan waktu diatas angkot carteran ini, sampai akhirnya tiba disebuah jalan kecil yang cukup menanjak yang dipenuhi para pendaki lainnya yang tengah beristirahat disekitaran pekarangan rumah warga sekitar. Untung saja pada saat itu ketua rombongan kita sudah menyewa sebuah rumah warga yang disulap menjadi tempat beristirahat kami beberapa jam kedepan, karena pada saat itu hampir semua pekarangan rumah warga sudah dipakai oleh rombongan pendaki lainnya yang telah tiba terlebih dahulu. Tetapi disaat rekan-rekan yang lainnya langsung beristirahat untuk menyiapkan stamina pendakian pagi harinya, saya dan beberapa rekan malah asik ngobrol dan bercanda disekitaran rumah sewaan. Tanpa terasa suara bedug yang bersumber dari Masjid yang terletak tidak begitu jauh dari tempat kita menginap seolah memberitahukan bahwa sesaat lagi akan memasuki waktu Subuh. Damn... padahal beberapa jam kedepan sampai sore hari badan ini pasti akan terposir tenaga nya tapi ini malah begadang hehehe. Ya sudahlah lumayan badan ini beristirahat mumpung masih punya waktu 1-2 jam. Seolah tanpa perintah saya pun segera mencari space diantara teman-teman lainnya yang tengah tertidur lelap layaknya ikan pindang yang ditumpuk-tumpuk hehehe.
Benar saja baru mata ini beristirahat, suara sumbang seorang teman tiba-tiba membangunkan .
Bangun woy....... udah jam 5. Siap-siap!
Akkkkhhhhhhhh....... cuma tidur satu jam doang” gerutu ku dalam hati L
Sekitar pukul 07.00 WIB semua pasukan telah siap untuk sebuah petualang 2 hari kedepan di Gunung Gede ini termasuk saya, tanpa lupa terlebih dahulu melakukan shalat subuh, packing ulang, sarapan dan melakukan sebuah ritual wajib sebelum naik agar pada saat diatas meminimalisir melakukan cat style hehehe.
Pukul 07.30 WIB kami sudah sampai di pos registrasi ulang Gunung Putri untuk menyerahkan beberapa hal seperti SIMAKSI dan form isian sampah para peserta pendakian. Setelah semua persyaratan selesai, kemi pun tidak lupa untuk berdoa melakukan perjalanan dan acara wajib photo seasons tentunya hehehe. Perjalanan dimulai dengan menyusuri jalan setapak yang sedikit demi sedikit mulai menanjak, dengan sajian pemandangan areal persawahan dan perkebunan milik warga di kanan kiri jalan. Tanpa terasa kami semua telah sampai di perhentian sungai kecil, yang merupakan sumber air terakhir via jalur Gunung Putri sebelum nanti bisa menemukannya kembali di daerah alun-alun Suryakencana. Sambil melepas lelah saya pun mengisi air kedalam sebuah jerigen berukuran 2 liter yang memang selalu saya bawa jika hendak melakukan sebuah perjalanan.
Setelah istirahat dirasa cukup, kami pun segera melanjutkan kembali perjalanan. Selepas perhentian sungai kecil, medan yang harus dilewati baru benar-benar terasa, bagaimana tidak kami sedikit demi sedikit mulai masuk ke dalam kawasan hutan, bahkan kemiringan medan yang dilalui cukup parah. Saya pun seolah teringat ketika melakukan perjalanan ke Gunung Cikurai Garut, jalur nya sama persis, nanjak terus tanpa ampun.... Akhirnya setelah jalan beberapa jam, sedikit demi sedikit kami sampai juga di Pos Buntut Lutung. Di pos ini ternyata ada serombongan pendaki yang tengah beristirahat dan masak masakan yang diselingi candaan-candaan merekan yang terkadang cukup kuli bagi saya, tapi lumayan lah recovery sejenak dengan tertawa-tawa sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Perjalanan pun dilajutkan kembali, ternyata medan yang dilalui masih sama saja nanjak... nanjak... nanjak... tanpa bonus sedikit pun L. Bahkan akibat trek yang dilalui sangat menguras energi, salah satu pasukan wanita Ceria sampai colaps. Akhirnya kami semua pun memutuskan untuk beristirahat di tengah-tengah perjalanan dengan waktu yang cukup lama sambil memasak mie instant untuk sedikit memulihkan tenaga. Sebenarnya saya sih pengen nya masak spagethi biar makanan yang dikonsumsi benar-benar menambah tenaga, tapi apa daya jika memasak spagethi pasti akan memakan waktu yang sangat lama. Akhirnya sebungkus Indomie rasa Vegan pun menjadi pengganjal perut siang itu. Kurang lebih satu jam setengah lamanya kami habiskan untuk beristirahat, setelah dirasa cukup saya pun memasukan kembali seperangkat alat lenong yang tadi dipergunakan ke dalam carrier berukuran 60 liter, kami pun kembali melanjutkan perjalanan melewati jalan setapak ditengah hutan dengan kemiringan yang cukup ekstreme, bahkan lutut menyentuh kepala pun seolah telah terbiasa. Ternyata energi tambahan dari sebungkus mie instant tidak membantu sama sekali dan hanya bertahan beberapa menit saja siang itu.
Jelang pukul 17.00 WIB akhirnya kami sampai juga di pos Simpang Maleber, memang perjalanan kali ini bisa dibilang sangat lambat karena selain disebabkan medan yang sangat berat, salah satu pasukan wanita Ceria yang sejak pos Buntut Lutung memang sudah drop makin menjadi setelah sampai di Simpang Maleber ini. Akhirnya saya pun memutuskan untuk berjalan terlebih dahulu bersama salah seorang rekan om Derby Romero hehehe. Maafkan teman-temab pada saat itu saya bersikap egois dan memilih untujk jalan terlebih dahulu, jujur pada saat itu fisik saya sendiri sudah drop akibat berat bawaan carrier yang mencapai 40 kg. Takut nya jika harus berjalan dengan menghabiskan waktu yang lebih lama lagi nanti malah merepotkan orang lain akibar badan drop. Ternyata medan yang dilalui setelah Simpang Maleber masih sama saja, nanjak terus.... Saya dan om Derby pun berkali-kali berhenti untuk sekedar mengambil nafas atau sedikit mengaliri tenggorokan yang kering dengan seteguk air menggantikan peran menelan ludah yang seolah telah terbiasa selama perjalanan sejak pagi hari.
Menjelang Maghrib akhirnya saya dan om Derby sampai juga di alun-alun Suryakencana bagian timur. Allhamdulilah akhirnya sampai juga... ternyata pemandangan yang diberikan luar biasa indahnya, sebuah padang savana yang memanjang dengan kanan kiri Gunung yang menjulang tinggi dan padang Edelwise yang sangat luar biasa luasnya. Bahkan menurut seorang teman padang edelwise di alun-alun Suryakencana ini merupakan padang edelwise terbesar di Indonesia. Sedikit menoreh cerita legenda masyarakat Sunda secara khusus dan Jawa Barat secara umumnya Gunung Gede dan alun-alun Suryakencana ini memiliki hubungan erat dengan Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran. Konon dahulu Prabu Siliwangi sebagai penguasa Kerajaan Pajajaran mengalami kekalahan perang melawan Kerajaan Islam Banten dan Kerajaan Majapahit. Prabu Siliwangi kemudian menyingkir ke wilayah Gunung Gede dan masyarakat setempat percaya makamnya terdapat disekitar alun-alun Suryakencana. Bahkan beberapa pendaki mengaku pernah melihat sebuah keraton di alun-alun Suryakencana dan kadang mendengar suara kuda para kesatria. Selain itu pun alun-alun Suryakencana dipercaya sebagai tempat bersemayamnya manusia setengah jin bernama Eyang Suryakencana, putra penguasa pertama Cianjur Pangeran Aria Wiratanudatar yang biasa dipanggil Eyang Dalem Cikundul. Di dekat jalan setapak dari alun-alun Suryakencana menuju puncak Gunung Gede disebutkan adanya sebuah gua bernama Goa Lalay. Selain itu, di dekat jalan setapak di tengah-tengah alun-alun Suryakencana, bisa juga ditemukan sebuah batu berbentuk kursi yang dipercaya sebagai tempat bertapanya Eyang Suryakencana. Sedangkan secara geologi batu tersebut sebenarnya merupakan sejenis batuan vulkanik yang mungkin saja terbentuk oleh letusan Gunung Gede. Benar atau tidak nya cerita-cerita legenda tersebut pada akhirnya kembali pada individu kita masing-masing. Namun satu yang pasti kita jadi lebih menghargai alam dan menghormati kepercayaan penduduk setempat.

alun - alun Suryakencana

Kembali pada perjalanan akhirnya saya pun bersama om Derby sepakat untuk beristirahat disalah satu sudut alun-alun Suryakencana sebelah timur sambil menunggu teman-temab lainnya yang masih tercecer dibelakang, sebelum melanjutkan kembali perjalanan ke arah alun-alun Suryakencanan sebelah barat tempat para pendaki mendirikan camp yang biasanya ditempuh kurang lebih 30 menit. Baru saja saya mengeluarkan nesting, gasmate dan beberapa sachet Energen untuk diseduh, tiba-tiba terlihat dari kejauhan 2 orang teman yang berjalan kearah saya berada. Ternyata 2 orang tersebut adalah Pak Rudi dan Om Bolot. Pak Rudi pun meminta saya dan Om Derby untuk turun kembali membantu tim sweeper yang pada saat itu sudah cukup kewalahan membopong salah seorang pasukan wanita Ceria yang memang sejak pos Buntut Lutung sudah drop. Jujur meskipun saat itu badan saya capek dan sangat lelah, tetapi mendengar salah satu rekan yang membuat perjalanan tersendat ialah berat bawaan carrier, jika fisik saya yakin semua orang masih kuat. Itulah yang saya sayangkan dari tim pionir yang katanya sudah sampai sejak pukul 15.00 WIB di alun-alun Suryakencana, mengapa mereka tidak curiga ketika tim yang lainnya belum juga sampai apalagi perbedaan waktunya sangat jauh mencolok, padahal dengan perjalanan tanpa membawa barang bawaan tentu  tidak akan terlalu menguras energi. Kembali pada saart perjalanan saya kebawah bersama om Derby, kira-kira kami menghabiskan waktu sekitar 15 menit dengan sedikit berlari-lari kecil, sebelum akhirnya menemukan pasukan Ceria yang pada saat itu sudah sangat kepayahan. Bahkan pasukan wanita Ceria yang drop benar sampai pingsan berkali-kali dan digendong secara bergantian oleh rekan-rekan yang lainnya. Oh ya hampir saja lupa, sebelum menyusul kebawah saya sempatkan untuk meminta sedikit perbekalan air panas dan roti tawar pada satu rombongan pendaki yang mendirikan tenda dan sekaligus juga satu-satunya tenda di kawasan alun-alun Suryakencana bagian timur. Disinal hebatnya berpetualang di alam bebas, semua orang merasa satu sepenanggungan, bila ada orang yang sedang membutuhan pertolongan pasti semaksimal mungkin akan membantu, tidak peduli mereka dari mana, agama apa, suku apa, organisasi apa, hilanglah sudah kasta yang terkotak-kotakan buah hasil kehidupan modern. Semua orang satu rasa, satu jiwa dan satu tujuan, puncak gunung.
Selepas menemukan rombongan Ceria yang tengah bersusah payah, saya pun secara refleks langsung menuangkan air panas yang dibawa dan memberikan beberapa lembar roti tawar hasil pemberian pendaki baik hati diatas. Setelah semuanya merasa sedikit baikan, saya pun memutuskan berjalan duluan keatas sambil membawa 2 pasukan wanita Ceria yang kelelahan tapi terlihat masih cukup kuat. Sedangkan 1 pasukan wanita Ceria yang tengah drop kembali digendong oleh salah seorang rekan. Tidak lama berjalan akhirnya saya dan 2 pasukan wanita Ceria sampai juga di alun-alun Suryakencana bagian timur, sang pimpinan rombongan pun cukup terlihat senang melihat kedatangan saya beserta 2 orang dibelakang. Berselang 15 menit kemudian akhirnya pasukan terakhir pun tiba, dengan posisi masih sama sang pasukan wanita Ceria masih digendong. Seolah tanpa komando saya pun segera mengeluarkan beberapa peralatan lenong dari dalam carrier, gasmate, nesting dan beberapa bahan makanan menjadi pilihan utama. Pada saat itu pun saya menjatuhkan pilihan untuk membuat sup, dengan pertimbangan proses pembuatan yang cepat juga cukup untuk membuat perut rekan-rekan yang lainnya tidak terlalu kaget dengan asupan makanan yang akan masuk. Selepas sup jadi saya pun segera memberikannya pada rekan yang tengah menyadarkan pasukan wanita eria yang lagi-lagi mengalami pingsan, namun untung nya saat itu tenda sudah berdiri sehingga lebih enak untuk proses recovery. Selepas itu saya segera mendirikan lagi sebuah tenda disamping tenda yang telah berdiri, selagi saya mendirikan tenda seorang diri tiba-tiba seorang teman mengerang kesakitan dengan badan mengejang. Kepanikan pun makin menjadi-jadi saat it, bagaimana tidak disaat salah satu pasukan wanita Ceria belum juga siuman, ditambah lagi kini satu orang yang drop bahkan kondisinya cukup parah. Saya pun disuruh ketua rombongan agar secepat mungkin mendirikan tenda, karena teman saya yang drop akan di istirahatkan di dalam tenda agar proses recovery berjalan lebih cepat. Setelah tenda berukuran 2 orang terpasang pasak terakhirnya saya pun segera memasukan matras dan memberikan kode pada teman-teman agar memasukan yang sedang drop tersebut. Saya pun kebagian dapur untuk kembali masak makanan untuk rekan-rekan yang lainnya. Ditengah suasana yang cukup hening dan nyaman tiba-tiba terdengar sebuah kegaduhan yang berasal dari dalam tenda wanita, secara spontan saya pun langsung meninggalkan kompor yang tengah menyala. Begitu saya masuk kedalam tenda ternyata pasukan wanita Ceria yang tengah drop seperti akan dimasuki sesosok makhluk dari alam lain, bahkan 2 teman wanita yang lainnya terlihat sangat panik bahkan salah satunya sampai menangis karena ketakutan. Jujur pada saat itu pun saya merasakan takut dan panik, tapi allhamdulilah bisa mengatasi keadaan sedikit demi sedikit. Bissmillahirahmanirahim.... saya pun langsung menekan kedua jari jempol kaki teman yang tengah berjuang untuk segera sadar sambil membaca ayat kursi yang saya baca berulang-ulang entah berapa belas kali. Ditengah-tengah suasana yang begitu mencekam, tiba-tiba teman wanita tersebut berteriak “sakit... sakit... sakit...!” dengan suara yang sangat berbeda dengan sang pemilik raga. Bahkan mata nya pun sempat mendelik dan berubah putih semua lalu berlanjut dengan tatapan tajam pada salah seorang teman yang juga tengah melantunkan ayat suci Al Quran. Rasa takut yang pada awalnya begitu menghantui diri, lambat laun berubah menjadi rasa kesal karena ingin sesegera mungkin mengakhiri semuanya. Saya pun tidak menghentikan membaca ayat kursi, sementara rekan saya yang lainnya mulai memberanikan diri untuk melawan Siapa kamu... Keluar... Keluar... Keluar...! dengan ritme suara yang cukup meninggi. Sekitar 15 menit kejadian yang cukup mencekam ini terjadi akhirnya secara perlahan pasukan wanita Ceria ini pun mulai tersadar meskipun belum sepenuhnya. Allhamdulilah... dan diakhiri dengan istigfar berkali-kali dan ditutup dengan membaca surat Al Fatihah.
Ketika suasana saya rasa sudah cukup kondusif saya pun segera keluar tenda dan melihat ke tenda sebelahnya dimana pasukan pria Ceria yang tengah drop berada. Ketika saya melihat allhamdulilah keadaannya pun membaik dan terlihat sudah siuman. Dengan perasaan lega saya pun kembali kedepan kompor untuk segera menyelesaikan tugas terakhir malam itu memasak. Setelah proses memasak selesai dan diakhiri dengan menyantap nya sampai tidak tersisa sedikitpun, akhirnya kami semua pun segera masuk ke dalam tenda untuk beristirahat sedangkan yang lainnya melanjutkan perjalanan menuju alun-alun Suryakencana bagian barat, karena tenda yang aka melindungi tubuh mereka semua sudah terpasang sejak sore hari disana.
Sebelum menutup mata saya pun memasang sleeping bag dan melirik jam Hublot Manchester Edition KW China yang melingkar ditangan sudah menunjukan jam 9 malam. Huuft.... 14 jam perjalanan yang menguras fisik, stamina, emosi bahkan mental. Bissmilahirahmanirahim.... Bissmika alluma ahya wabismikka ammut....
Bangun wi udah jam 5, ayo kita muncak....” suara om bolot dari luar tenda membangunkan saya pagi itu.
Tuh makan dulu nasi uduk nya tadi ibu-ibu PKK beli pas ada mang –mang yang jual lewat” lanjutnya
Memang benar dikawasan TNGP ini kita bisa menemukan bebrapa tukang nasi uduk yang lewat, dipikir-pikir hebat banget, mereka mencari rezeki berjualan sampai kesini segala behkan terkadang mereka pun menjajakan nasi uduk dagangan nya sampai ke puncak Gunung Gede dan Pangrango.
Setelah menyelesaikan sarapan nasi uduk dan memakai sepatu saya pun sedikit melakukan pemanasan sebelum menuju puncak Gede pagi itu. Begitu memasuki kawasan alun-alun Suryakencana pagi itu udara benar-benar begitu sangat menggairahkan, udara dingin yang menyelimuti beradu dengan sinar matahari yang secara perlahan mulai menyinari alun-alun Suryakencana, sampai terlupa jika kemarin tubuh ini terposir habis-habisan, amazing indah banget.  Kurang lebih sekitar 20 menit berjalan akhirnya saya pun tiba di daerah alun-alun Suryakencana bagian barat dimana tenda para pendaki memenuhi kawasan ini. Setelah menemukan dimana para pasukan Ceria berada akhirnya saya pun mengajak mereka untuk muncak, eh ternyata mereka semua baru saja turun dari puncak karena mereka memang sengaja naik subuh agar kebagian saat sunrise di puncak gunung, tapi tidak mengapa meskipun saya tidak merasakan sunrise di puncak Gede pagi itu , yang terpenting saya harus bisa sampai puncak hari itu.
Akhirnya saya pun muncak bareng dengan beberapa teman saja, terutama teman-teman yang nge camp bareng dengan saya pada saat malam. Rute yang harus dilewati terbilang cukup berat dan curam, untung nya pagi itu tidak usah membawa carrier jadi badan pun terasa ringan. Dengan kemiringan hampir 60 derajat badan yang semula kedinginan pun berubah seketika dengan guyuran keringat yang sedikit demi sedikit mulai membasahi badan. Kira-kira 1 jam lama nya saya beserta rekan-rekan menghabiskan waktu dalam perjalanan menuju puncak Gede, pohon Cantigi yang menjadi ciri khas puncak Gunung pun mulai terlihat sedikit demi sedikit. 5... 4... 3... 2... 1...

keceriaan pasukan Ceria di puncak gunung Gede

  Allahuakbar... indah banget...  saya seolah berdiri diatas awan... menggapai langit... puncak Pangrango pun menyapa dari kejauhan... Tiba-tiba bayang-bayang perjalanan dari awal pun terfikirkan begitu saja  Pos pendakian... Sungai kecil... Pos Buntut Lutung... Simpang Maleber... Teman yang colaps... Malam yang mencekam... Indahnya alun-alun Suryakencana... dan kini puncak Gunung Gede. Bener banget apa yang dikatakan Donny Dhirgantoro dalam novel  5 cm nya, biasanya jika manusia ngerasain keindahan yang amat sangat, maka dia kan secara refleks akan memejamkan mata dan membawa keindahan itu ke dalam hati kerena keindahan nya tidak bisa diucapkan dengan kata-kata atau diterjemahkan dengan cara apa pun sama indera fisik, tapi di puncak gunung semua teori tersebut bisa terbantahkan. Pemandangan di depan mata ini harus dinikmati secara utuh karena ini adalah sebuah keindahan yang tiada taranya yang tidak bisa dinikmati setiap hari nya atau bahkan yang terakhir dalam hidup. Subhanallah.... 

On => Musrik => PopSuck => Ipang - Sahabat Kecil.mp3 => play

Baru saja berakhir
Hujan di sore ini
Menyisakan keajaiban
Kilauan indahnya pelangi

Tak pernah terlewatkan

Dan tetap mengaguminya
Kesempatan seperti ini
Tak akan bisa di beli

Bersamamu ku habiskan waktu

Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya

Melawan keterbatasan

Walau sedikit kemungkinan
Tak akan menyerah untuk hadapi
Hingga sedih tak mau datang lagi

 

Gunung Gede, jaga tempat mu baik-baik... tunggu saya datang kembali... menyapa mu... tersenyum pada mu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar